Bagaimana dengan akurasi pengumuman survei opini publik? Bagaimana menjelaskan hasil survei yang kadang berbeda dengan hasil resmi KPUD?
Ini hikmah yang kedua. Perlu kita pahami realitas survei opini publik dalam hubungannya dengan hukum besi perilaku pemilih.
Survei di Indonesia umumnya dilakukan paling baru adalah seminggu hingga dua minggu sebelum hari pencoblosan. Tak ada survei yang dilakukan di hari pencoblosan kecuali Exit Pool.
Selalu ada waktu yang tak lagi terpantau oleh lembaga survei. Itu adalah perubahan suara di tiga hari tenang plus hari setelah survei terakhir selesai. Padahal itulah hari yang masih memungkinkan mobilisasi dukungan secara nyata (lewat sosial media) ataupun gerilya bawah tanah (door to door, lewat jaringan, mulut ke mulut), dan sebagainya.
Bahkan dalam survei terakhir tetap tersisa jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan. Jumlah mereka acapkali sekitar 10 persen hingga 30 persen, tergantung situasi. Mereka yang belum menentukan pilihan itu kadang baru menentukan pilihan di hari tenang, atau bahkan di menit ketika masuk TPS. Ini pula yang yang tak terpantau lagi oleh hasil survei.
Jumlah Golput dan siapa yang golput adalah variabel lain yang tak terpantau oleh survei. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, survei selalu berangkat dengan mengandaikan 100 persen pemilih datang ke TPS.
Jika Golput terjadi secara proposional: persentase yang Golput dari setiap kandidat itu sama banyak secara proporsional, golput tak akan mempengaruhi hasil akhir. Tapi selalu mungkin persentase golput dari calon tertentu jauh lebih banyak.
