MENU

Pada Masa Peradaban Islam, Umat Islam Cinta Buku

Pada masa kejayaan islam di abad pertengahan (abad ke-10 Masehi/ abad ke-4 Hijriah) yang oleh Dr. Mustafa As-Siba’i disebut sebagai peradaban islam, kita disuguhkan kemuliaan-kemuliaan perilaku yang membuat decak kagum. Salah satu perilaku yang mempesona adalah kecintaan mereka pada buku.

Masyarakat islam di masa itu lebih mengutamakan membaca buku daripada ngobrol. Mereka lebih suka menjalin kedekatan dengan buku daripada menjalin kedekatan dengan khalifah dan kekuasaan.

Ada kisah seorang ulama tidak bersedia memenuhi panggilan Amirul Mukminin karena sedang asyik dengan “ahli-ahli hikmah”, kemudian Amirul Mukminin memaksa ulama tersebut agar datang dalam kondisi bagaimanapun.

Setelah ulama tersebut menghadap khalifah dan memberi penjelasan barulah sang khalifah faham bahwa yang dimaksud dengan “ahli-ahli hikmah” adalah buku. Dan yang lebih menakjubkan khalifah tersebut tidak marah setelah tahu bahwa ulama tersebut lebih mengutamakan buku daripada dirinya.

Dengan roh keilmuan, para ulama, hartawan dan penguasa pada masa kejayaan islam sangat mencintai buku bahkan sampai berpendapat bahwa bencana bencana yang menimpa harta dan rumah mereka lebih ringan daripada bencana yang menimpa buku-buku mereka.

Para penguasa juga sangat menghargai penulis buku, Al Hakam pemimpin Andalusia mengirim seribu dinar kepada Abul Fajar al Ashafani atas karyanya dalam membuat buku Al Aghani.

Dari semangat keilmuan inilah maka menjamur perpustakaan-perpustakaan di berbagai penjuru dunia Islam, hampir disetiap sekolah dan desa terdapat perpustakaan. Perpustakaan pada masa itu ada 2 macam, yaitu umum dan perpustakan pribadi.

Perpustakaan umum terlahir dari rasa kemanusiaan para khalifah, amir, ulama dan hartawan yang ingin mendonasikan hartanya agar masyarakat umum yang tidak mampu beli buku masih tetap bisa membaca buku. Dan merekalah yang mendirikan perpustakaan umum tersebut.

Beberapa contoh perpustakaan umum pada masa peradaban Islam

1. Perpustakaan Khalifah Dinasti Fatimiyah di Kairo
Perpustakaan ini berdiri tahun 395 H, mempunyai 40 lemari, yang salah satu lemarinya berisi 18.000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Jumlah seluruh buku mencapai 2 juta eksemplar. Semua orang boleh masuk ke situ dan disediakan segala yang diperlukan untuk belajar (tinta, pena, kertas, tempat tinta).

2. Perpustakaan Baitul Hakam di Baghdad
Perpustakaan ini didirikan oleh Harun ar Rasyid dan mencapai puncak kebesaran pada masa Al Ma’mun, perpustakaan ini lebih mirip sebuah universitas karena disitu juga tempat berkumpulnya orang-orang untuk berdiskusi, memtelaah buku dan menyalin buku. Disitu juga menjadi tempat ilmuan menyalin dan menerjemahkan buku-buku yang diperoleh Ar Rasyid dan Al Ma’mun dalam penaklukan Ankara, Amuria dan Cyprus.

Ibnu Nadim bercerita bahwa telah terjadi surat-menyurat antara Al Ma’mun dan raja Romawi yang pernah dikalahkannya dalam sebagian peperangan. Salah satu syarat perdamaian yang ditetapkan Al Ma’mun adalah agar para raja Romawi memperbolehkan buku-buku yang ada dalam lemari-lemarinya diterjemahkan oleh para ulama yang dikirim Al Ma’mun. Sebuah keputusan yang cerdas dimana Al Ma’mun melihat harga kemenangan itu tidak lebih mahal dari buku-buku ilmu pengetahuan yang akan ditransferkan ilmunya kepada umat di negerinya.

3. Perpustakaan Al Hakam di Andalusia (Spanyol)
Perpustakaan ini sangat besar dan luas. Koleksi bukunya 400 ribu eksemplar. Disusun sesuai dengan katalog-katalog yang rapi. Diperpustakaan ini terdapat pula para penyalin buku yang cakap dan para penjilid buku yang handal.

4. Perpustakaan Bani Ammar di Tripoli (Libya)
Perpustakaan ini memiliki 1 juta buku. Disitu terdapat 180 penyalin buku yang bekerja bergiliran siang dan malam. Bani Ammar sangat gemar melengkapi perpustakaan dengan buku-buku langka dan baru. Mereka mempekerjakan orang-orang pandai dan pedagang-pedagang untuk menjelajah negeri-negeri dan mengumpulkan buku yang bermanfaat dari lokasi yang mereka jelajahi.

Disamping perpustakaan umum terdapat pula perpustakan pribadi yang besar yang dimiliki oleh perseorangan diantaranya perpustakaan Al Fath bin Khaqan, perpustakaan Ibnu Khasyab, perpustakaan Jamaluddin al Qifthi, perpustakaan Bani Jaradah al Ulama, perpustakaan Muwaffaq bin Muthran ad Dimasqi.

Diatas hanyalah sedikit contoh dari perpustakaan-perpustakan yang dimiliki umat islam pada masa kejayaannya. Namun sayang perpustakaan-perpustakaan umat islam telah ditimpa bencana besar tatkala tentara Tatar manaklukkan Bagdad, mereka melemparkan semua buku yang ada diperpustakaan ke sungai Daljah sehingga sungai itu penuh buku. Dan selama berbulan-bulan sungai itu berwarna hitam pekat oleh tinta-tinta buku tersebut.

Pada perang salib umat islam juga kehilangan perpustakaan yang ada di Tripoli, Maarrah, Al Quds, Ghazzah, Asqalan dan kota-kota lainnya. Demikian pula di Andalusia, semua buku dibakar, bahkan dalam sehari buku-buku yang dibakar di lapangan Granada berjumlah sekitar satu juta.

Beberapa contoh tragedi yang menimpa perpustakaan-perpustakaan milik umat islam diatas dan tragedi-tragedi lainnya mengakibatkan kita kehilangan buku-buku itu untuk selama-lamanya, padahal buku-buku itu termasuk peninggalan paling berharga dari pemikiran manusia dalam sejarah.

Namun sebagai umat islam yang hidup pada jaman sekarang di era yang begitu mudah mengakses ilmu pengetahuan melalui buku maupun sarana lainnya, mari kita meneladani para pendahulu kita dalam mencintai ilmu dan gemar membaca.

Disarikan dari buku Peradaban Islam karya Dr. Mustafa As-Siba’i

 

Penulis: Endang S
EDITOR: Iwan S

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER