PALEMBANG, SERUJI.CO.ID – Dari kejauhan saat memasuki pintu gerbang Perumahan Amin Mulia Jakabaring, Palembang, Sumsel akhir Desember lalu, terlihat dua menara berwarna merah menyala dengan bangunan berarsitektur china yang sekilas terlihat seperti pagoda.
Dua menara masing-masing setinggi 17 meter dan bertingkat lima tersebut mengapit bangunan utama dengan kubah berwarna hijau.
Setelah dilihat dari dekat, bangunan tersebut tidak lain adalah komplek Masjid Cheng Hoo, yang bernama lengkap Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Hoo. Saat memasuki pintu gerbang, nuansa budaya china begitu terasa, tidak hanya karena arsitekturnya yang serba merah, tetapi juga nama mesjid yang ditulis dalam aksara china.
Bagian bawah kedua menara dilengkapi dengan tempat berwudhu berukuran 4×4 meter, yang sebelah kiri untuk kaum wanita dan sebelah kanan untuk pria.
Menara dibuat bertingkat lima mempunyai arti, yaitu jumlah lima kali sholat yang harus dilakukan setiap hari, sementara tinggi menara 17 meter adalah simbol dari jumlah rakaat dalam lima kali sholat tersebut.
Di bagian belakang, terdapat dua buah pendopo dengan atap berarsitektur khas Palembang, yaitu berupa tanduk kambing. Bangunan yang di komplek mesjid tersebut menggunakan campuran arsitektur china dan kebudayaan, sebagai simbol pembauran kedua etnis.
Mesjid Cheng Hoo yang berukuran 20×20 meter dan berada di komplek seluas sekitar 5.000m2 tersebut selesai dibangun pada 2006 atas prakarsa Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), atau sekarang bernama Pembina Iman Tauhid Islam, bersama Yayasan Mohammad Cheng Hoo Sriwijaya Palembang.
Tanah tempat berdirinya mesjid tersebut merupakan hibah dari Sumatera Selatan saat itu, yaitu Syahrial Oesman.
Pembangunan masjid Cheng Hoo berawal dari semangat anggota PITI yang tidak pernah surut untuk membentuk sebuah wadah yang bertujuan membina iman tauhid anggota mereka yang berstatus mualaf, sekaligus sebagai pemersatu umat Islam secara lebih luas.
Masjid adalah sarana yang dianggap paling tempat dan strategis untuk mempersatukan umat Islam Tionghoa secara utuh, tempat berkumpul dan memperdalam ajaran Islam secara benar bagi masyarakat keturunan Tionghoa.
Menurut Ny. Maftuhudin yang sehari-hari bertugas menjaga masjid bersama suaminya, pengunjung tidak hanya mereka yang hendak beribadah, tapi juga ingin melihat langsung bangunan yang sekarang termasuk sebagai salah tujuan wisata religi.
“Sekarang sudah banyak turis asing dari luar negeri, terutama yang berasal dari Tiongkok yang datang ke masjid ini,” katanya.
Lalu kenapa Cheng Hoo sebagai nama mesjid? Pemakaian nama Cheng Hoo sama sekali bukan untuk mengkultuskan panglima angkatan laut China pada abad ke-15 itu, tapi untuk meneladani semangat dakwah Cheng Hoo. Meski berasal dari negara dengan penganut Islam sebagai minoritas, Cheng Hoo tetap menjalankan dakwah Islam dalam setiap perjalanan tugas negara.