JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA kembali merilis hasil survei yang memperlihatkan elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf makin melebar meninggalkan Prabowo-Sandiaga di 58.7 persen versus 30.9 persen.
Akibat hasil survei yang dilakukan pada 18-25 Februari 2019 tersebut, LSI Denny JA mendapat serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak.
Peneliti dan pendiri LSI, Denny Januar Ali (Denny JA) menganggap serangan tersebut, termasuk yang terjadi kepada berbagai lembaga survei, adalah bentuk kekecewaan dari pihak yang tidak menerima hasil survei.
“‘Buruk Rupa Cermin Dibelah‘. Karena kecewa wajah nampak buruk, cermin yang fungsinya hanya memantulkan realitas dihancurkan,” kata Denny JA lewat keterangan tertulis yang diterima SERUJI di Jakarta, Kamis (7/3).
Dijelaskan Denny, lembaga survei yang kredibel ibarat sebuah cermin. Sementara, para politisi, kandidat, dan partai adalah wajah yang nampak di cermin.
“Bukan riset dibalas riset. Bukan data dibalas data. Tapi diberondong peluru gabungan antara kritik yang sehat, prasangka, gosip dan salah paham,” ujarnya.
Terkait tudingan berbagai pihak terhadap hasil survei lembaganya dan berbagai hasil survei lain yang memperlihatkan elektabilitas paslon nomor urut 01, Jokowi-KH Ma’ruf yang meninggalkan paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga, Dennya JA menjawabnya dalam bentuk esai.
“Saya memutuskan menjawab segala hal “salah paham” itu dalam satu esai saja, berikut dengan catatan kaki. Dalam catatan kaki, tersedia link untuk dipelajari lebih lanjut,” ujar Denny JA.
Inilah 5 “Salah Paham” Terkait Hasil Survei Menurut Denny JA
Salah Paham Pertama:
Bahkan di Amerika Serikat ketika Hillary Clinton versus Donald Trump, lembaga survei meleset. Hampir semua lembaga survei memenangkan Hillary. Kenyataannya Trump yang menang. Jika di pusatnya saja lembaga survei bisa meleset, apalagi di Indonesia.
JAWAB:
Tak ada yang meleset dalam publikasi lembaga survei di Amerika Serikat, untuk kasus Hillary versus Trump. Data terakhir menunjukkan, secara nasional memang Hillary menang sekitar 2,8 juta suara. Hasil pemilu itu sama dengan yang diumumkan lembaga survei.
Tapi memang sistem di Amerika Serikat berbeda. Yang menentukan menang kalah bukan keseluruhan dukungan rakyat. Yang menentukan itu sistem electoral college.
Bukan lembaga survei meleset, tapi sistem menentukan kemenangannya berbeda.
Link ini bisa dibaca: http://amp.timeinc.net/time/4608555/hillary-clinton-popular-vote-final
Salah Paham Kedua:
Survei LSI Denny JA pernah meleset ketika pilkada Jakarta 2017, juga pilkada Jateng dan Jabar 2018. Soal survei pilpres 2019 pasti meleset lagi.
Jawab:
Cek saja google, survei LSI Denny JA sangat akurat dalam mempublikasi siapa yang akan menang dalam pilkada DKI (2017), Jateng (2018), Jabar (2018). Link di bawah ini bisa dicek.
Tips: “jika membandingkan survei dengan hasil KPU, lihat publikasi terakhir lembaga survei itu menjelang hari pencoblosan. Jangan survei yang jauh hari karena dukungan itu dinamis.”
Soal pilkada DKI (2017): ini link survei LSI Denny JA sebelum hari pencoblosan yang mengabarkan Anies akan mengalahkan Ahok
Link: https://m.detik.com/news/berita/d-3473802/survei-lsi-denny-ja-anies-sandi-514-ahok-djarot-427
Soal pilkada Jateng (2018), ini link survei LSI Denny JA sebelum hari pencoblosan yang mengabarkan Ganjar Pranowo akan memenangkan pilkada
Link: https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-3988130/unggul-di-segala-lini-lskp-lsi-ganjar-di-ambang-dua-periode
Soal pilkada Jabar (2017), ini link survei LSI Denny JA sebelum hari pencoblosan yang mengabarkan Ridwan Kamil yang akan memenangkan pilkada.
Link: https://regional.kompas.com/read/2018/06/21/16101951/survei-lsi-elektabilitas-ridwan-uu-388-persen-deddy-dedi-366-persen
Tak ada yang meleset dalam memprediksi kemenangan akhir (sekali lagi kemenangan akhir). Bahwa prosentase kemenangan dan dukungan pihak lawan itu berbeda, tentu saja.
Survei dibuat dengan asumsi “jika pemilu hari ini (hari ketika survei dibuat, yang pastilah paling anyar 14 hari sebelum hari pencoblosan). Setelah survei terakhir diumumkan, masih ada sekian hari kampanye dan hari tenang. Segala hal bisa terjadi dan tak terpantau lagi oleh survei.
Tapi hal paling utama, calon yang akhirnya menjadi gubernur DKI (2017), Jateng (2018), Jabar (2018) sama dengan yang diprediksi LSI Denny JA.
Bahkan untuk pilkada DKI 2017, LSI Denny JA mendapatkan penghargaan dari asosiasi lembaga survei karena akurasi dan lainnya:
Link: http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2017/05/09/lsi-denny-ja-sabet-lima-kategori-penghargaan-aropi
Salah Paham Ketiga
Astaga, LSI Denny JA ingin memecah belah umat. Kok berani beraninya ia memframing pendukung Prabowo ingin Indonesia seperti Timur Tengah? Kok jumlah orang sholat disurvei dan dihubung-hubungkan dengan pilihan capres?
JAWAB:
Pemilih Muslim itu kantong suara terbesar. Total populasinya 85-87 persen. Mereka yang menang di pemilih Muslim, jika menang telak, hampir pasti menang pula dalam pemilu.
Namun hal yang biasa dalam studi prilaku pemilih, nuansa agama itu dibreakdown. Pemilih agama itu ternyata tidak homogen. Dimensi yang berbeda dapat menghasilkan prilaku yang berbeda.
Di Amerika Serikat misalnya, frekwensi beribadah ke gereja selalu menjadi obyek riset. Untuk kasus pilpres tempo hari, ternyata semakin sering seseorang ke gereja, semakin cenderung ia memilih Donald Trump.
Hal yang lazim pula dalam dunia riset jika pemilih Muslim itu dibreakdown. Ketika dipilah berdasarkan afiliasi ormas, misalnya, ternyata yang ke FPI lebih banyak pilih Prabowo. Tapi yang merasa bagian NU, lebih banyak dukung Jokowi.
Banyak dimensi dapat diturunkan dari nuansa pemilih Muslim. Salah satunya kategori orientasi politik. Bentuk negara bagaimana yang diidealkan? Apakah NKRI dengan Pancasila seperti sekarang? Apakah negara Islam seperti di Timur Tengah? Apakah demokrasi liberal seperti Amerika Serikat.
Sejak LSI lahir di tahun 2003, jenis pertanyaan itu selalu hadir untuk mengukur dimensi agama dalam hubungan dengan prilaku pemilih.
Selalu tercatat, yang mengidealkan demokrasi liberal di Indonesia sekitar 1-3 persen populasi. Yang mengidealkan negara Islam seperti Timur Tengah sekitar 3-9 persen. Yang mengidealkan NKRI Pancasila seperti sekarang sekitar 80-87 persen.
Itu kenyataan sosiologis penduduk Indonesia. Justru aneh jika kenyataan ini diabaikan.
Yang menarik, prilaku pilihan capres setiap kategori bisa berbeda. Yang mengidealkan Indonesia menjadi negara Islam seperti Timur Tengah memang lebih banyak memilih Prabowo. Yang mengidealkan NKRI Pancasila dan demokrasi liberal lebih banyak ke Jokowi.
Ini semata potret sosiologis. Tak ada hubungan dengan adu domba paham agama.
Link contoh survei di AS soal dimensi agama: http://www.pewresearch.org/fact-tank/2016/11/09/how-the-faithful-voted-a-preliminary-2016-analysis/
Salah Paham Keempat:
LSI Denny JA itu konsultan politik. Hasil surveinya direkayasa bukan data sebenarnya. Itu dibolak balik saja untuk memenangkan kliennya: membela yang bayar.
JAWAB
Tak diingkari LSI Denny JA itu konsultan politik. Bahkan saya dengan senang hati disebut ‘the founding father’ lahirnya konsultan politik di Indonesia.
Namun dalam institusi LSI Denny JA, ada sekitar 8 anak perusahaan. Yang bertugas menjadi konsultan politik berbeda dengan yang bertugas membuat survei.
Untuk survei, justru agar ia berguna untuk klien, semakin data itu akurat semakin ia berfungsi. Semua strategi hanya bisa disusun jika datanya akurat dan benar.
Cek saja di google. Semua rekor survei paling akurat yang bahkan diiklankan, plus quick count, dalam sejarah pemilu langsung di Indonesia, yang sudah diverifikasi pihak ketiga seperti lembaga MURI, semuanya ada di tangan LSI. Rekor itu tak pernah dipecahkan lagi.
Lembaga yang sudah panjang jejak, yang nyawa lembaga itu tergantung akurasi, mustahil bersedia berakrobat dengan data. Main-main data lebih mungkin dilakukan oleh lembaga survei kemarin sore, yang jejaknya tak jelas. Pastilah tak ada pula penghargaan dari pihak ketiga yang pernah ia dapat.
Link: https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/olt0eu385
Salah Paham Kelima
Lembaga survei itu berkomplot. Ada lima sampai delapan lembaga survei misalnya, mereka berkomunikasi. Mereka mengatur di antara mereka sendiri. Siapa yang publikasi di awal. Angka berapa yang akan dipublikasi. Lembaga lain menyusul dengan publikasi prosentase yang dibuat mirip. Tak heran hasil lembaga survei itu memang mirip-mirip memenangkan klien.
JAWAB:
Inilah mungkin salah paham atau tuduhan yang paling lucu. Kata anak gaul, ini pandangan khas dari mereka yang terlalu banyak baca komik kisah konspirasi. Atau mereka yang memang hidupnya diwarnai kesepakatan menipu secara “berjemaah.” Pengalaman hidup dalam dunianya sendiri ia proyeksikan.
Tak ada konsorsium atau kesepakatan apalagi jika melibatkan lima sampai delapan lembaga survei. Aneka lembaga survei itu bahkan saling bersaing. Bahkan hubungan pribadi tokoh utama dalam lembaga survei itu banyak pula yang tak mesra.
Jika hasil yang dipublikasi mirip, itu karena mereka menggunakan metodelogi yang sama di waktu yang kurang lebih sama. Itu yang menjadi penyebab hasilnya mirip, bukan hasil bisik bisik di belakang meja.
-000-
Apakah lembaga survei tak pernah meleset? Kecil sekali kemungkinan misalnya delapan lembaga survei yang kredibel meleset bareng-bareng.
Tapi selalu mungkin terjadi anomali. Hasil akhir KPU, misalnya berbeda dengan hasil akhir survei. Mungkin dari 100 kasus, anomali itu terjadi untuk di bawah 5 kasus (di bawah 5 persen).
Pun penyebab anomali bisa dijelaskan. Memang bisa terjadi, dalam hari-hari terakhir setelah survei terakhir diumumkan, terjadi misalnya Golput yang tidak proporsional dari satu kubu. Seketika ia mengubah hasil akhir.
Namun sekali lagi, itu kasus yang sangat, sangat, sangat jarang untuk pemilu nasional seperti pilpres (kata sangat sengaja dibuat tiga kali).
Akhir kata, Lembaga survei anak kandung demokrasi langsung. Ketika kita menginginkan demokrasi langsung, lembaga survei menjadi paket tak terhindari. Ibarat beli satu (demokrasi langsung), otomatis dapat dua (plus bonus akan lahirnya lembaga survei).
Tinggalah jejak dan rekor yang membedakan mana lembaga survei yang kredibel mana yang abal-abal. Membedakan lembaga survei itu semudah kita membedakan penyanyi yang merdu dan fals. Mengapa? Karena Om Google dengan senang hati membantu melacak.
Demikianlah lima salah paham itu sudah dijawab. Jika masih ada yang salah paham setelah dijelaskan bisa jadi karena mereka sengaja punya paham yang salah.😁
Maret 2019
Ini survey yg bilang ahok 57%waktu pilkada DKI itu, wkwkwk