JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Gelombang tsunami yang menerjang wilayah Selat Sunda yang meliputi Banten dan Lampung disebut para ahli sebagai tsunami yang tidak terdeteksi. Pasalnya, tsunami tersebut tidak disebabkan oleh gempa tektonik seperti yang biasanya terjadi melainkan melalui gempa vulkanik yang disebabkan oleh Gunung Anak Krakatau.
Untuk mengatasi hal tersebut, lembaga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Kemenkomaritim bekerja sama untuk melakukan mitigasi bencana dengan memanfaatkan tiga pulau yang mengelilingi anak gunung Krakatau.
Tiga pulau tersebut meliputi Pulau Krakatoa, Pulau Krakatau Kecil, dan Pulau Sertung.
“Kami akan memasang tidegauge di tiga pulau tersebut untuk mengantisipasi gelombang tsunami susulan yang disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers di kantor pusat BMKG, Jakarta, Senin (24/12).
Cara tersebut dikatakan Dwikorita akan lebih efektif untuk mengetahui kemungkinan tsunami lebih dini.
“Misalnya kemarin air mulai naik akibat tremor vulkanik pukul 21.03 WIB, seandainya di situ sudah terpasang tidegauge itu datanya bisa dikirim ke BIG dan kita juga bisa memantau dan itu masih tersisa waktu 20-24 menit,” paparnya.
“Dengan analisis kami yang cukup cepat hanya 3 hingga 5 menit, waktu tersebut cukup jika dimanfaatkan untuk melakukan evakuasi warga,” sambungnya.
Baca juga:Â BNPB Ungkap Penyebab Tsunami Selat Sunda Tak Terdeteksi Sehingga Banyak Korban Jiwa
Tidegauge merupakan alat untuk mengetahui pasang surut air laut. Dengan jarak pemasangan yang dekat dengan Krakatau, maka gelombang air laut yang naik pun akan lebih mudah terpantau.
“Alat ini bermanfaat untuk memverifikasi apakah tsunami benar terjadi di wilayah Gunung Anak Krakatau atau tidak,” katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenkomaritim, Ridwan Djamaluddin, mengatakan pihaknya akan bekerjasama dengan BPPT untuk melakukan pemasangan sensor bawah laut sebagai pengganti buoy di tiga pulau tersebut.
“Hal ini dirasa penting karena buoy yang biasanya digunakan untuk mendeteksi gelombang, seringkali dirusak oleh masyarakat sekitar,” kata Ridwan. (SU05)