Bupati Asmat mengakui adanya kesalahan dari stafnya yang tidak tanggap dan menanggani kasus KLB ini secara cepat.
Namun dia juga mengungkapkan bahwa budaya masyarakat Asmat yang masih kurang informasi terhadap kesehatan juga menjadikan kesulitan tersendiri dalam upaya pencegahan KLB ini.
Kambu mengakui para korban yang penyakit campak ini diakui karena banyak masyarakatnya takut dimunisasi.
“Saat imunisasi pertama dilakukan badan anaknya panas, pada imunisasi kedua mengajak keluarganya pergi ke hutan dan tidak mau dimunisasi,” katanya.
Kambu juga mengakui jarak antar wilayah yang sulit dijangkau dan minimnya tenaga medis juga menjadi kendala dalam penaganan pelayanan kesehatan masyarakatnya.
Tim KSP yang turun ke lapangan ke Kampung AS, yang korban meninggalnya terbanyak kedua, harus menempuh waktu dua jam lebih dengan menggunakan perahu cepat (speed boat) menyusuri sungai, karena tidak ada angkutan alternatif lain.
Sesampai di tempat tujuan, berbagai keluhan warga, dari tidak adanya dokter dan tenaga medis lainnya, obat-obatan hingga transportasi yang menyebabkan banyak korban.
Di daerah itu ada Pustu (Puskesmas Pembantu), ada bangunannya tapi tidak ada petugasnya. Ada hanya petugas dari warga yang hanya membantu, tidak sekolah dan menolong jika ada yang sakit, kata Ius User, seorang warga Kampung As.
Tenaga Ahli Utama KSP Bimo Wijayanto, saat menemui warga, terkejut dengan kondisi ini dan tidak terbayang sebelumnya.
Bimo berjanji akan menyampaikan keluhan yang ada dan kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menanggani kasus ini.
“Saya akan membawa keluhan bapak ibu semua, semoga nanti ada jalan yang bisa membuat masyarakat di sini lebih baik,” janjinya.