MENU

Catatan di 2017: Penegakan Hukum di Masyarakat Belum Berkeadilan

JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad mengungkapkan, inti dari penegakan hukum sebagai penjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat, belum terlihat sepanjang tahun 2017 yang dilakukan oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Hal ini yang harus dibenahi ke depan oleh penegak hukum agar menghilangnya rasa keadilan di masyarakat tidak terjadi.

Sepanjang 2017 ini, kata dia, penyelesaian hukum tidak sampai pada akar persoalan dan ada nuansa diskriminasi atau tebang pilih.

“Jadi di Indonesia ini wujud inti dari hukum untuk mencapai suatu keadilan di masyarakat, telah menghilang. Padahal hukum itu tidak diperlukan apabila sudah ada keadilan,” kata Suparji kepada SERUJI melalui pesan singkat, Rabu (20/12).

Ia pun menyoroti dua kasus korupsi yang belum menunjukkan rasa keadilan di masyarakat sepanjang 2017. Pertama, menghilangnya tiga nama politisi PDIP dalam dakwaan Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP-el yang ditangani oleh KPK. ‎

“Tiga nama hilang dalam kasus KTP-el, tapi tidak muncul dalam dakwaan Setya Novanto. Itu tanda banyak putusan pengadilan belum wujudkan rasa keadilan di masyarakat,” tegasnya.

Kedua, perkara korupsi dana pensiun Pertamina yang ditangani oleh Kejagung, yang secara nyata ada peran seseorang yang paling tidak bisa dikenakan pasal ikut serta dalam tindak pidana korupsi.

“Padahal secara nyata merupakan pihak yang memediasi terjadinya transaksi yang diduga merugikan keuangan negara dalam kasus tersebut,” tuturnya.

Tidak hanya itu, Direktur Eksekutif SA Institute ini menyoroti hilangkan kebebasan dalam berpendapat yang juga dinilai hilangnya rasa keadilan di masyarakat. Pasal yang ada di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kerap disalahgunakan dalam penegakan hukum.

“Unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE cenderung multitafsir. Pada 2017, ada beberapa orang dijerat dengan pasal tersebut. Antara lain, Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Aswa Dewi dan Buni Yani,” paparnya.

Lebih lanjut Suparji mengatakan, fenomena persekusi yang diatur dalam UU KUHP meningkat luar biasa sepanjang 2017. Persekusi merupakan tindakan memburu orang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu pihak secara sewenang-wenang, secara sistematis atau luas.

“Persekusi kepada ulama banyak terjadi sepanjang 2017 ini yang akhirnya timbulkan konflik horizontal,” sesalnya.

Dia menambahkan, fenomena praperadilan di 2017 meningkat sangat signifikan. Hal ini dimanfaatkan para tersangka korupsi untuk lolos dari penetapan tersangka seperti kasus Setya Novanto. Padahal semangat lahirnya UU KUHP yang mengatur praperadilan ini sebagai pengawasan horizontal terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik maupun penuntut umum.

“Praperadilan ini dimanfaatkan untuk melawan keadilan itu tadi. Pada mulanya, sidang praperadilan jarang dilaksanakan, namun pasca putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, prapeadilan telah digunakan sebagai alat untuk apapun agar tersangka terhindar dari penetapan itu,” jelasnya. (Herdi S/Hrn)

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER