SERUJI.CO.ID – Dua bulan terakhir nilai Dollar Amerika sempat beberapa kali melewati angka psikologis 15 ribu rupiah, atau serupa permulaan krisis 1997. Catatan menunjukkan krisis moneter saat itu diikuti krisis ekonomi 1998 yang berimbas pada instabilitas politik dan keamanan serta berujung tumbangnya Orde Baru. Prasetyantoko (2008) menyatakan bahwa stabilitas moneter telah menjadi barang publik dan menjadi tugas pemerintah untuk menyediakannya.
Lebih lanjut di Tahun 2009, peraih Ph.D dengan disertasi “Finance, Investment and Crisis: Empirical Studies of Listed Companies in Indonesia” tersebut mengatakan bahwa krisis ekonomi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem ekonomi neo-liberal. Menurutnya gejolak moneter ataupun ekonomi seringkali tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi. Persepsi para pelaku pasar dalam merespon informasi/kebijakan pemerintah turut mempengaruhi gejolak yang tercipta, disamping akibat aktivitas para spekulan yang bermain karena adanya asymetric information.
Beruntung di tahun politik saat ini, oposisi tidak mengeksploitasi berlebihan pelemahan nilai tukar rupiah. Kebersamaan mengatasinya, misalnya ditunjukkan secara simbolis melalui penukaran Dollar salah satu Cawapres patut diapresiasi. Sebab jika pelemahan rupiah mengarah pada krisis moneter atau bahkan krisis ekonomi, maka yang merasakan dampaknya seluruh rakyat Indonesia.
Upaya mencegah krisis
Untuk meredam spekulasi, BI merilis kebijakan moneter bulanan dalam rangka menurunkan defisit transaksi berjalan, memperkuat ketahanan eksternal, sambil tetap mempertahankan daya tarik pasar keuangan. Data-data digelar mengenai perekonomian global dan domestik, kondisi terakhir neraca perdagangan, inflasi, stabilitas sistem keuangan, sistem pembayaran, cadangan devisa, pertumbuhan transaksi non-tunai, serta nilai tukar mata uang di kawasan. Analisis mengenai prospek dan resiko ekonomi domestik dan global yang diikuti bauran kebijakan BI Repo Rate diharapkan mampu menenangkan pasar.
Dari sisi fiskal, BPK berupaya menjadi jembatan antara client-para pelaku ekonomi dan agency-pemerintah, agar terbangun trust. Satu dekade pasca krisis ekonomi 1998, BPK mulai melakukan reviu atas transparansi fiskal Pemerintah Pusat. Tujuannya agar salah satu komponen signifikan ekonomi makro ini dikelola secara hati-hati, kredibel dan bertanggung jawab. Sebagai dua sisi dari keping uang yang sama, kredibilitas kebijakan moneter Bank Sentral dan kebijakan fiskal pemerintah tentu berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah di pasar.
Seperti menjawab kritikan Joseph Stiglitz yang menganalogikannya dokter malpraktik selama krisis ekonomi 1998, IMF merilis Code of Good Practices on Fiscal Transparency pada tahun 2007. Kode-kode tersebut di tahun 2014 disempurnakan menjadi The IMF’s Fiscal Transparency Code (FTC) yang dijadikan kriteria untuk mereviu transparansi fiskal Pemerintah Pusat. Tiga pilar utama FTC adalah: (1) pelaporan fiskal; (2) perkiraan fiskal dan penganggaran; serta (3) analisis dan manajemen risiko fiskal, yang lebih lanjut diuraikan ke dalam 12 dimensi dan 36 kriteria.
Transparansi fiskal menurut IMF adalah pelaporan keuangan publik yang komprehensif, jelas, handal, tepat waktu dan relevan mengenai kondisi keuangan negara di masa lalu, saat ini dan masa depan. Sedangkan pelaporan fiskal terdiri dari publikasi dan penyebaran informasi ringkas mengenai kondisi keuangan publik, termasuk perkiraan fiskal, statistik keuangan, dan laporan keuangan pemerintah. Laporan hasil reviu transparansi fiskal Pemerintah Pusat oleh BPK dituangkan dalam Buku IV Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), melengkapi Buku I-III yang terdiri dari opini atas laporan keuangan, aspek kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan aspek pengendalian internal.
Hasil reviu transparansi fiskal sepanjang 2014-2018 menghasilkan beberapa catatan perkembangan melalui radar chart setiap tahunnya, dimana temuan signifikannya menjadi panduan bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan pengelolaan fiskal. Setelah melalui proses berkelanjutan, pada TA 2017 Pemerintah berhasil mencapai 86 persen penilaian positif dari total 36 kriteria pilar transparansi fiskal, yaitu level Advanced sebanyak 18 kriteria (50 persen), level Good sebanyak 13 kriteria (36 persen), level Basic sebanyak 3 kriteria (8 persen) dan Not Met sebanyak 2 kriteria (6 persen).
Dalam aspek pelaporan fiskal, LKPP yang mencatat sekitar dua kuadrilyun realisasi APBN akhirnya memperoleh opini WTP pada tahun 2018, mengikuti jejak 91 persen LKKL (80 dari total 88 Kementerian/Lembaga), dan 76 persen (411 dari total 542 Provinsi/ Kabupaten/ Kota) LKPD. Namun demikian dari sisi laporan keuangan konsolidasian masih muncul permasalahan terkait ketidakseragaman chart of account (CoA) yang menyebabkan sulitnya dilakukan penggabungan laporan keuangan pemerintah Pusat dan Daerah serta analisis perbandingan kinerja antar pemerintah.
Dalam aspek perkiraan fiskal dan penganggaran, reviu diberikan diantaranya atas kredibilitas proses penyusunan asumsi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, proyeksi lifting minyak bumi, tingkat inflasi, harga minyak dunia, neraca pembayaran, current account, proyeksi pertumbuhan ekonomi, defisit transaksi berjalan, defisit anggaran, utang luar negeri, dan cadangan devisa. Masyarakat tentu sangat terbantu dengan adanya ringkasan APBN ataupun data APBN tahun-tahun sebelumnya (budget statistics) dan budget in brief yang dirilis Kementerian Keuangan melalui berbagai media, termasuk medsos.
Pada Tahun 2016 BPK menyoroti tidak teralisasinya penerimaan pajak (hanya 83,29 persen target APBN) akibat terlalu ambisiusnya target perpajakan di tengah lemahnya pertumbuhan ekonomi beberapa tahun sebelumnya. Respon positif Kementerian Keuangan atas hasil reviu tersebut berdampak pada perbaikan struktur penerimaan pajak tahun-tahun selanjutnya sehingga mengurangi laju defisit fiskal. Namun demikian sampai 2018 belum terdapat estimasi kehilangan pendapatan dari tax expenditure report. Reviu transparansi fiskal Tahun 2014 – 2018 menyoroti primary ballance yang mulai negatif dan cenderung membesar dari TA 2012-2017, sehingga mengancaman fiscal sustainability. Hal ini berarti sumber pembayaran bunga utang bukan berasal dari pendapatan negara, melainkan sebagian atau seluruhnya dibayar dengan menambah utang baru.
Dalam aspek analisis dan manajemen risiko fiskal, hasil reviu transparansi fiskal 2018 menunjukkan Pemerintah telah mengungkapkan risiko fiskal dan analisis yang mencakup risiko perubahan asumsi dasar ekonomi makro, risiko utang pemerintah, kewajiban penjaminan kontinjensi pemerintah, serta mandatory spending. Pemerintah juga melakukan analisis sensitivitas kemungkinan bertambahnya defisit, menyusun skenario alternatif dan prakiraan keterjadiannya.
Pun Pemerintah telah menyusun dan melaporkan anggaran kewajiban kontinjensi, bersama pengungkapan risiko fiskal dari jaminan pemerintah, penerima manfaat, eksposur kotor, dan kemungkinan dicairkannya. Pemerintah juga telah mengungkapkan jumlah hak, kewajiban, dan eksposur lainnya dalam kontrak Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Pemerintah telah mengantisipasi pula risiko bencana, penyediaan pendanaan, dan upaya penanggulangan bencana. Namun Pemerintah belum membuat proyeksi keberlanjutan fiskal jangka panjang (10 tahun) termasuk proyeksi anggaran jaminan sosial dan kesehatan, apalagi telah terjadi defisit BPJS dalam beberapa tahun terakhir.
Dukungan pemeriksaan BPK
Pemerintah Pusat dan Daerah perlu meningkatkan kualitas belanjanya melalui penerapan tiga prinsip dasar Public Financial Management, yaitu disiplin fiskal, efisiensi alokasi dan efisiensi operasional. Menurut Prospera (2018), arah penganggaran pemerintah seringkali tidak sinkron dengan perencanaan yang telah dibuat, dan kurang mempertimbangkan efisiensi. Dalam konteks menstabilkan Rupiah, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan bersamaan dengan upaya menggenjot ekspor. Pemeriksaan BPK, baik kinerja, dengan tujuan tertentu (DTT) maupun keuangan, turut mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan fiskal pemerintah ini.
Diantaranya adalah hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas kerangka kerja ekonomi makro dan strategi pengelolaan utang negara untuk menjaga kesinambungan fiskal pada Kementerian Keuangan (Periode 2010 – Oktober 2012) yang menyimpulkan bahwa desain dan pelaksanaannya belum efektif. Beberapa temuan signifikan, yang beberapa diantaranya telah ditindaklanjuti pemerintah, adalah belum adanya dasar hukum pengelolaan kewajiban kontinjensi, belum seluruh unsur kesinambungan fiskal dipertimbangkan dalam penyusunan APBN, serta belum adanya kerangka kerja penyelarasan aset dan utang yang dikelola otoritas fiskal dan moneter, sehingga berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas kerangka makro pengelolaan utang negara.
Sementara hasil pemeriksaan DTT atas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor Kementerian Perdagangan (2015 s.d. Semester I 2017) menemukan fakta-fakta terdapatnya penerbitan impor pangan tidak sesuai data kebutuhan dan produksi dalam negeri, persetujuannya yang tidak melalui rapat koordinasi, tidak didukung data analisis kebutuhan, tidak memenuhi dokumen persyaratan, ataupun tanpa rekomendasi kementerian teknis. Disamping itu juga tidak terdapat sistem untuk memantau realisasi dan kepatuhan pelaporan oleh importir. Hal ini diperburuk oleh data pertanian berbagai institusi yang diragukan keakuratannya, seperti dikonfirmasi oleh silang pendapat terbuka antara Menteri Perdagangan dan Kepala Bulog mengenai cadangan beras nasional beberapa waktu lalu. Akibatnya, kebijakan impor cenderung memboroskan cadangan devisa sekaligus disinsentif bagi petani untuk berproduksi.
Pelaksanaan UU PPKSK
Pengesahan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang tertunda sampai Tahun 2016, seperti disoroti oleh reviu tranparansi fiskal sejak tahun 2013, perlu didorong efektifitas implementasinya. Keempat stakeholders pencegah dan penanggulangan krisis sistem keuangan; Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS perlu meningkatkan koordinasinya seperti diatur dalam protokol manajemen krisis, mekanisme untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, alur koordinasi, mekanisme pertukaran informasi dalam berbagai skenario kondisi, serta penyampaian informasinya kepada publik. Penguatan sinergi diperlukan dalam aspek pengelolaan fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan, serta resolusi bank.
Ibarat Medical Check up Unit pengelolaan fiskal pemerintah, pendapat BPK diperlukan saat merumuskan kebijakan strategis pencegahan krisis moneter dan ekonomi, dimana menurut Prasetyantoko bisa terjadi kapan saja dengan berbagai penyebab. Di masa lalu BPK berpengalaman memeriksa BPPN pasca penggelontoran BLBI akibat krisis ekonomi 1998 yang beberapa kasus korupsinya masih menggelinding hingga hari ini. Dalam kasus skandal Bank Century 2008, BPK diminta DPR melakukan pemeriksaan investigatif untuk memastikan dugaan pelanggaran peraturan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek. Alasan mengantisipasi kemungkinan krisis ekonomi dan status bank gagal berdampak sistemik bisa menjadi celah bagi korupsi kebijakan.