Mahar Politik
ilustrasi

Meski begitu, dia mengakui ada saweran untuk membiayai proses politik yang berlangsung. Meski tidak ada mahar untuk rekomendasi, ada konsekuensi biaya yang dikeluarkan calon yang tidak mungkin dibebankan pada partai pengusung, seperti biaya kampanye, saksi, dan biaya operasional tim pemenangan.

Pengakuan La Nyalla Mattalitti dan Brigjen Pol. Siswandi soal mahar politik miliaran rupiah hanyalah puncak gunung es yang fenomenanya terjadi secara masif.

Parpol meminta mahar sebagai syarat memperoleh rekomendasi pilkada juga disinyalir terjadi di berbagai daerah lain, seperti di Batubara, Sumatera Utara, dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Adanya mahar politik ini disinyalir sebagai salah satu penyebab mahalnya biaya pilkada. Data Litbang Kemendagri terkait dengan pilkada serentak pada tahun 2015, misalnya, mengonfirmasi soal mahalnya biaya politik ini.

Hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk menjadi wali kota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp20 miliar sampai dengan Rp30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp20 miliar s.d. Rp100 miliar.

Akibatnya, tidak sedikit para kandidat yang maju dalam pilkada mencari dana tambahan di luar yang telah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik dalam bentuk Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) maupun Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).

Kasus semacam ini bahkan juga terjadi di negara adidaya Amerika Serikat. John Nichols dan Robert W. McChesney (2014) mengatakan bahwa pemilu di Amerika Serikat sebagai “dollarocracy” (duitokrasi) karena dipengaruhi oleh kekuatan uang.

Jika Amerika saja sebagai negara kampiun demokrasi menghadapi persoalan demikian, kemungkinan besar hal serupa juga dihadapi negara lain, tidak terkecuali Indonesia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama