SERUJI.CO.ID – Tulisan Denny JA, yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” dan dipublikasikan secara meluas lewat media sosial, memunculkan wacana yang menarik. Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Denny JA, dan mencoba membahas wacana yang dimunculkan itu dalam perpektif ajaran Islam.
Dalam karyanya, Kaif Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (1990), Yusuf al-Qardhawi menyatakan, dalam ajaran Islam, ada dua hal yang sangat penting dipahami, yakni sasaran dan sarana. Sasaran itu substansi ajaran Islam yang mesti digapai, sedangkan sarana itu alat untuk menggapainya.
Sasaran sifatnya ajeg atau tidak berubah (al-tsabit), sementara sarana sifatnya tidak ajeg atau berubah (al-mutaghayyir). Di manapun dan kapanpun, sasaran akan tetap stagnan, sedangkan sarana senantiasa menyesuaikan zaman wa makan (situasi dan tempat).
Sayangnya, umat Islam hari ini banyak yang terkecoh, tidak mau tahu atau bahkan memang tidak tahu, mana yang sasaran dan mana yang sarana. Yang terjadi, akhirnya, sarana menjadi orientasi yang tiada henti dikejar, sementara sasaran lantas diabaikan.
Yang dikedepankan hal-hal teknis formalitas, sedangkan yang substansial dinafikan. Padahal jelas, Islam mengutamakan ruh al-syari’ah atau jiwa ajaran/substansi, bukan bentuk formalnya.
Pertanyaannya: apa yang sesungguhnya menjadi inti ajaran Islam? Imam al-Ghazali (w. 505 H) misalnya, menyebutkan lima point utama inti ajaran Islam atau maqashid al-syari’ah, yang disebutnya sebagai al-kulliyah al-khamsah: hifdh al-din (perlindungan atas agama), hifdh al-‘aql (perlindungan atas akal), hifdh al-nasl (perlindungan atas keturunan), hifdh al-mal (perlindungan atas harta) dan hifd al-‘irdh (perlindungan atas kehormatan). Gagasan ini lalu dikembangkan secara lebih akademik oleh Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat.
Soal pakaian, sebagai contoh kecil saja umpamanya, substansinya apa? Tiada lain, fungsi pakaian adalah untuk melindungi tubuh dan menjaga kehormatan diri pemakainya atau menutupi aurat, yang batasannya masih menjadi bahan diskusi oleh kalangan ulama. Inilah sasaran utama yang ingin digapai.
BACA JUGA: Soal Gagasan Habib Rizieq “NKRI Bersyariah”: Label atau Substansi?
Sasaran ini tetap ajeg, juga berlaku di mana dan kapan saja. Soal bentuk, model atau motif pakaiannya, biarlah kearifan lokal yang menentukan kepantasannya, sesuai budaya setempat.
Tidak harus sama dengan budaya masyarakat yang menjadi tempat lahirnya Islam: Arab Masyarakat Indonesia semestinya berpakaian dengan cara dan adat keindonesiaannya. Sebab, melindungi tubuh itu visi Islam, sedang bentuk pakaian itu budaya lokal.
Melindungi tubuh dan menjaga kehormatan itu sasaran dan bentuk pakaian itu sarana. Jangan lalu dibulak-balik sekenanya. Lihat saja keterangan apik tentang pakaian ini dalam al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah (2016) karya Ali Mustafa Yaqub.