Pertama, mereka yang menonton debat calon presiden, tak banyak yang mengubah pilihan capres. Sekitar 86 persen – 90 persen tetap bertahan dengan posisi awal sebelum debat.
Kedua, yang lebih terpengaruh berubah pilihan setelah menonton debat capres lebih banyak di kalangan undecided voters. Tapi jumlahnya undecided voters yang berubah, dari belum memilih menjadi memilih capres, hanya 7 persen.
Sedangkan yang sudah punya pilihan lalu mengubah pilihannya (dari satu capres ke capres lain) setelah menonton debat, totalnya hanya 3.5 persen. Dan yang sudah memilih calon presiden lalu malah menjadi undecided voters setelah menonton debat capres hanya 3.3 persen.
Ketiga, tak terjadi perubahan dramatis dari pemilih yang menonton debat capres. Jangan mengharapkan debat capres misalnya mengubah pola: capres yang menang dalam dukungan publik sebelum debat capres menjadi kalah (setelah debat capres). Atau sebaliknya.
Apalagi debat capres Amerika Serikat paling banyak ditonton oleh 30-35 persen populasi saja. Sejauh ini, debat presiden yang paling banyak ditonton dari sisi prosentase tetaplah debat presiden pertama AS era disiarkan TV secara langsung: debat antara Kennedy versus Nixon tahun 1960.
Jika tak ada efek elektoral, mengapa debat capres dipertahankan bahkan menjadi satu program pemilu presiden yang penting?
Riset menunjukkan hal positif untuk kasus lain. Fungsi debat capres memang lebih pada edukasi politik bagi publik. Setelah menonton debat, secara signifikan warga lebih ingin tahu soal isu. Mereka juga lebih terlibat dalam proses kampanye. Mereka lebih ingin berpartisipasi dalam politik praktis.
Di luar studi McKinney dan Warner, ada pula temuan dari peneliti lain yang penting. Setelah menonton debat, pemilih yang sudah menentukan pilihan cenderung hanya memperkuat pilihannya. Dan yang mungkin jarang diduga, mayoritas penonton debat, lebih dipengaruhi oleh penampilan capres, gaya berkomunikasi, dibandingkan kedalaman argumen.
Yang kritis justru umumnya media di Amerika Serikat. Sudah berkembang di sana apa yang disebut tradisi Fact Checking. Aneka fakta, data dan klaim yang dibuat capres segera diverifikasi yang mana yang benar, setengah benar dan salah.
Ini penting bagi kultur demokrasi!
