
Melencengnya cita-cita demokrasi ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah korupsi kepala daerah selama reformasi. Dari jejak berita digital, kita mengetahui bahwa selama 13 tahun ini sudah 56 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, yang melibatkan 11 Gubernur, 30 orang Bupati, 12 Wali Kota, 2 Wakil Bupati dan seorang Wakil Wali Kota.
Korupsi ini selain mencerminkan buruknya rezim lokal, juga menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan lokal dalam menghadapi godaan pemilik modal, yang ingin memanfaatkan kekuasaan tersebut dalam mendapatkan hak-hak/perijinan
pertambangan, hutan, perkebuanan, properti, dan lain sebagainya.
Buruknhya situasi desentralisasi politik paska reformasi, menuntut adanya perubahan besar sistem kenegaraan kita. Koreksi atas kekuasaan local harus dilakukan.
Keinginan politik untuk mengembalikan demokrasi lokal yang liberal dan bersifat langsung, umpamanya, telah diupayakan oleh berbagai kelompok politik pada tahun 2014, dengan menawarkan pemilihan kepala daerah diubah dari bersifat langsung menjadi bersifat pemilihan di DPRD. Namun, karena situasi atau setting politik yang melatarbelakangi usulan itu dicurigai kelompok lainnya, maka demokrasi lokal tetap seperti yang ada saat ini.
Upaya lain juga coba dilakukan pemerintahan pusat dengan coba mengontrol keberhasilan lokal dalam pembangunan melalui adanya dana insentif daerah, namun kelihatannya belum menunjukkan keberhasilan.