Free Market dan Neoliberalism

Reformasi selama 20 tahun ini telah menuntaskan peranan pasar dalam menentukan perekonomian kita. Negara yang semula melakukan perencanaan melalui GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) dan “Planned-Economy” akhirnya diserahkan ke market. Berbagai hal seperti sektor ketenagakerjaan, impor komoditas dan produk manufaktur, ritel bisnis, dan lain lain diserahkan kepada pasar, meskipun itu akan mempengaruhi nasib rakyat kecil.

Peranan negara dalam mengintervensi pasar, misalnya melalui BUMN, semakin kecil, seiring dengan privatisasi BUMN yang terus dilakukan. (Sebuah anomali terjadi saat ini ketika BUMN menjadi kartel bisnis tersendiri di bawah komando Rini Suwandi).

Berbagai kemudahan dilakukan pemerintah agar indeks kemudahan berbisnis, khususnya untuk menarik investor asing, dilakukan dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek waktu perijinan bisnis. Semua sistem ekonomi kemudian terintegrasi dengan sistem ekonomi global.

Selama berlangsungnya ekonomi pasar bebas, kita menyaksikan bahwa pembangunan ekonomi yang terjadi tidak menguntungkan rakyat kebanyakan. Transformasi jumlah penduduk menjadi kelas menengah memang terjadi, misalnya, dalam 10 tahun pemerintahan SBY, namun pada saat bersamaan oligarki pemilik modal menjadi semakin gila.

Perating jumlah orang-orang kaya seperti Forbes, melansir kekayaan orang-orang Indonesia dalam jumlah yang tidak mungkin dibayangkan terjadi, sebab, pada saat reformasi mereka memiliki kekayaan bersih (net-worth) negative.

Baru-baru ini Oxfam, sebuah LSM kaya di Inggris, melansir kekayaan 4 orang Indonesia setara dengan jumlah kekayaan 100 juta jiwa penduduk menengah ke bawah. Megawati Institut, dalam rilis risetnya akhir tahun lalu, juga menyatakan bahwa percepatan kekayaan orang-orang kaya tidak terkendali.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama