Akar peristiwa ini tidak dipahami oleh kebanyakan pengamat barat, yang secara kuktural berbeda dengan kita. Demokrasi liberal juga mengalami pemusnahan akibat turut campurnya kekuatan oligarki ekonomi dalam politik.

Demokrasi kita yang berkembang pesat, namun mengarah barbarian dengan menghalalkan segala cara, telah menghilangkan unsur-unsur kebaikan demokrasi seperti pertarungan narasi, ide dan janji politik, menjadi pertarungan pencitraan, uang dan kekerasan. Hal ini membuat dominasi uang dalam pertarungan menjadi faktor utama. Sehingga, demokrasi yang dicita-citakan menjadi lumpuh.

Semakin kemari, semakin nyata demokrasi hanya menjadi alat bagi pemilik modal untuk menguasai politik, baik eksekutif, yudikatif, maupun pembuat undang-undang.

Bagi pengamat barat seperti Lindsey, misalnya, analisa politik yang dilakukan terlalu normative dan textbook. Mereka gagal faham dalam melihat Ahok, misalnya, yang hanyalah alat atau proxy pemilik modal yang ingin menguasai total Jakarta, seperti dalam bisnis properti, khususnya reklamasi, dan menyingkirkan kaum miskin Islam.

Desentralisasi

Pengalaman kita dalam desentralisasi juga harus dipikirkan ulang. Kekuasaan lokal yang berkembang, dengan otoritas kekuasaan yang sangat besar, serta politik uang dalam electoral, menjadikan cita-cita desentralisasi melenceng.

Purwo Santoso dalam bukunya “Rezim Lokal” (2018), menjelaskan bahwa elit lokal telah membajak demokrasi, karena tidak adanya kendala bagi dirinya untuk mengeksploitasi posisinya sebagai elit. Santoso juga melihat faktor figure yang dominan dibanding institusi dalam demokrasi kita, menyebabkan kekuasaan elit lokal dapat berbuat sesukanya. Artinya, keberlangsungan kekuasaan lokal selama reformasi politik ini menghilangkan kontrol efektif dari kekuasaan pusat dan sekaligus kontrol dari rakyat, sebagai prinsip “check and balance“.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama