Dua sosok perpolitikan nasional, dua-duanya pernah mengikuti pilpres, dua-duanya belum kesampaian menjadi RI-1. Namun, apapun kata Amin Rais dan Prabowo Subianto, selalu menjadi magnet pembicaraan bagi kalangan pro dan kontra.
Kata Amin Rais cukup pedas ditelinga ketika muncul kata “ngibul”. Sontak tersebar di berbagai media, sebagian mengolok-olok, sebagian diam, sebagian membela.
Kata Prabowo Subianto juga menjadi syurga celaan bagi kalangan yang tak menyukai dirinya, setelah kata “tahun 2030 Indonesia bisa hilang”. Komentar kemudian membanjiri, entah dengan dianggap pesimis, hingga tanpa data.
Apa yang terjadi adalah cermin kondisi Indonesia, yaitu terlalu banyak orang yang cepat berkomentar tanpa berusaha mendengarkan dengan cermat. Menjadi merasa lebih pintar ketika bertemu dengan orang yang tidak sepihak, dan berbalik bodoh kehilangan sikap kritis kepada junjungannya.
Sebagian kondisi ini terjadi karena rakyat Indonesia tidak dilatih mampu berkolaborasi. Pendidikan Nasional ternyata telah menghasilkan manusia-manusia kompetitif individualis, di hampir segala bidang. Penyakit bawah sadar ini membuat orang selalu berpikir: ketika seseorang pantas maka orang lain tidak pantas, ketika tak setuju maka bukan kalangannya.
Pemilu dan Pilpres adalah contoh sebuah kompetisi, selalu menghasilkan pemenang dan pecundang, setidaknya itu yang ada di benak banyak orang, di bawah sadar. Kritik menjadi dianggap ‘aib’, aib ‘elektabilitas’, sehingga harus segera ‘dibela’ bahkan dilawan dengan serangan balik. Berharap dengan tindakan tersebut elektabilitas merangkak bukan ‘mangkrak’.
Bela diri terhadap kritik sesungguhnya sebuah langkah kebodohan. Kritik berasal dari orang kritis, muncul dari orang-orang yang mau berpikir. Sebaliknya, kata-kata pujian hanya muncul dari pikiran sederhana bahkan lebih sering dari sekedar perasaan, untuk menyenangkan, kasarnya menjilat.
Andai mendengar, membaca dan mencermati sebelum bela diri, ada manfaat yang bisa diambil. Terbukti ternyata tidak hanya Amin Rais yang menyatakan penguasaan asing atas tanah di Indonesia sudah terlalu besar. Terbukti ternyata benar adanya kajian-kajian tentang ancaman atas bangsa Indonesia. Bukan sekedar hanya ingin citranya lebih baik dari yang lain dan kemudian tetap berkuasa, tapi mulailah saatnya mengkhawatirkan kondisi kapal bangsa ini arahnya ke mana.
“Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat, ” tersebut ayat Quran. Di ayat lain, “segala puji milik Allah.” Dua petikan ayat yang mempertegas bahwa kritik jauh lebih baik daripada pujian. Penguasa yang mencari-cari pujian, hanya akan membuat rusak negeri. Namun, apa dikata, hanya dengan puji-pujian rakyat mau memilih, atas nama demokrasi.
Kemampuan kolaboratif hanya dimiliki oleh orang yang bisa melepaskan prasangka buruk kepada orang lain, yang sering muncul akibat hukum sesat “homo homini lupus“, bersaing hidup saling “bunuh”. Dalam sikap kolaboratif, kesuksesan itu bahkan nihil, ketika orang lain menjadi pijakan.
Sesungguhnya, sifat kolaboratif menjadi titik tolak kemajuan bangsa. Bukankah ada sila Persatuan Indonesia? Dan bahkan semua sila Pancasila tak ada sedikitpun mengandung makna mendorong kompetisi antar anak bangsa sendiri.
Sekali lagi, hanya satu kompetisi yang baik: “berlomba-lomba dalam kebaikan”, fastabiqulkhairat, persis yang disebut dalam Quran.