Sepanjang film berdurasi 2 jam lebih, saya terpana pada kemampuan akting Gary Oldman. Begitu apiknya ia memerankan Churchill. Indahnya itu akting. Tak heran Oldman difavoritkan mendapat oscar aktor terbaik tahun ini.

Tapi saya lebih terpana pada hal lain. Imajinasi berkelana lebih jauh. Ini perkara sejarah. Jika saja Churchill politisi biasa, mungkin kita sampai pada sejarah yang berbeda. Tak ada lagi kekuatan yang berani melawan Hitler. Nazi akan menguasai Eropa dan dunia. Saat itu tinggal Inggris yang berani melawan walau kekuatan militer tak seberapa.

Jika Churchill takut dan memilih damai, yang kini dominan mungkin bukan demokrasi dan hak asasi tapi Nazisme. Atau mungkin sejarah pembantaian manusia atas superioritas ras akan lebih panjang. Atau demokrasi dan hak asasi akhirnya tetap menang namun lebih lambat kemajuannya dibanding saat ini.

Ternyata ini topik menjadi studi sejarah. Para ilmuwan mencoba menerka apa jadinya jika saat itu Churchill memilih bernegosiasi dengan Hitler. New York Times membuat artikel khusus mengulasnya di tahun 2000: Rethingking Negotiation with Hitler.

Saya terus terngiang indahnya retorika Churchill. Ujarnya “kita harus menuju kemenangan dengan seluruh resikonya. Kemenangan walau sehebat apapun teror mengancam. Kemenangan walau begitu sulit dan panjang jalan harus kita tempuh. jika kita tak menang, hal baik dalam peradaban akan musnah.”

Itu sebabnya mengapa tak perlu ada negosiasi dengan diktator. Hitler tak ada keinginan lain kecuali kuasai Eropa, lalu dunia.

Atau ketika banyak yang pesimis dengan situasi, Churchill menggugah. “Ini era mengharuskan kita untuk optimis. Situasi meminta kita untuk tidak bersikap lain.”

Atau “Jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah. Jangan, jangan dan Jangan. Baik menyerah untuk hal besar ataupun hal kecil. Kita hanya boleh menyerah untuk kebaikan dan martabat.

Churchill mencontohkan dengan baik kisah seorang pemimpin. Ia bukan saja berani tapi pandai menggugah. Ia bukan saja kepala pemerintahan tapi cemerlang soal gagasan. Ia bukan saja memerintah tapi membangun peradaban.

Ia bukan saja tegas menyatakan TIDAK kepada diktator, tapi juga pandai mempengaruhi opini. Ia bukan saja percaya pada cita cita mulia, namun juga percaya pada kekuatan kata.

Menonton film Darkest Hours, merenungkan figur ideal seorang pemimpin, dan menyimak politik Indonesia sejak reformasi, ada rasa sepi.

Oh, betapa saya rindu romantisme itu. Betapa saya damba politik yang penuh gagasan dan inspirasi. Betapa berharap hadirnya seorang pemimpin yang juga pejuang.*

Jan 2018

 

(ARif R)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama