Pengakuan UNESCO
Walau enam abad telah berlalu riwayat pinisi dan pelaut Bugis tetap hidup. Bahkan, pada 7 Desember 2017, Sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Tak Benda Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan seni pembuatan kapal pinisi dari Sulawesi Selatan sebagai Warisa Budaya Dunia Tak Benda, atau “Intangible Cultural Heritage of Humanity”.
Penetapan tersebut merupakan pengakuan UNESCO atas pinisi sebagai bagian dari seni berlayar di wilayah kepulauan yang tak ternilai mengingat proses pembuatan kapal tersebut kaya akan nilai budaya dan spiritual, selain memiliki teknologi dan bentuk yang canggih dan unik pada zamannya hingga di masa kini.
Perahu pinisi memiliki dua tiang layar utama dengan tujuh buah layar yang terdiri atas tiga layar kecil berbentuk segitiga, disebut “tanpasere” dipasang antara “anjong” (segitiga penyeimbang di sisi depan kapal) dengan tiang utama, dua layar bantu di tengah yang disebut “cocoro tangnga”, dan dua layar bantu di belakang, disebut “tarengke”.
Sementara dua layar utama berukuran besar dan berbentuk trapesium dipasang di tengah. Layar utama pada tiang depan disebut “sombala bakka” sedangkan layar pada tiang belakang dinamakan “sombala riboko”. Tujuh layar inilah merupakan ciri khas kapal pinisi.
Proses pembuatan kapal selalu diawali dengan ritual tertentu. Tahap pertama adalah menghitung hari baik untuk mencari kayu sebagai bahan baku yang biasanya jatuh pada hari ke lima dan ke tujuh pada bulan berjalan. Masing-masing hari tersebut mengandung arti yang baik yakni “rezeki sudah di tangan” dan “selalu mendapatkan rezeki”.
Proses pencarian kayu dipimpin oleh punggawa atau kepala tukang. Selanjutnya, saat meletakkan lunas kapal dimulai, kayu harus diletakkan menghadap timur laut. Bagian balok lunas bagian depan menyimbolkan lelaki, sedangkan bagian belakang diartikan sebagai wanita.
Setelah dimanterai, proses pemotongan dimulai dengan menggunakan gergaji yang harus terus bergerak hingga balok lunas terpotong.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan badan kapal, dek, bilik kapal, pemasangan tiang dan layar serta proses penyelesaian dan peluncuran pertama kali di laut. Semua tahapan ini selalu selalu didahului dengan ritual yang mencerminkan nilai sosial dan budaya kehidupan sehari-hari, yaitu kerja bersama, bekerja keras, keindahan, serta penghargaan terhadap lingkungan alam.
Pembuatan perahu Pinisi secara tradisional masih bisa ditemui di beberapa wilayah Sulawesi Selatan, yaitu di Tana Beru, Bira, dan Batu Licin di Kabupaten Bulukumba.
Kini, pinisi merupakan andalan kegiatan ekonomi di Indonesia, terutama dalam sektor transportasi hasil bumi antarpulau. Pelabuhan-pelabuhan utama seperti di Makassar, Surabaya, Jakarta, Semarang, Pontianak, dan Banjarmasin selalu dipadati oleh kapal pinisi. (Libertina Widyamurti Ambari/Ant/SU02)
