Sedikit kilas balik, nama Denny JA mulanya cukup asing di dunia sastra. Walaupun ia seorang kolumnis produktif yang telah menulis ribuan kolom atau artikel opini di media massa dan menerbitkan puluhan buku, nyaris tidak ada satu pun tulisannya yang berhubungan dengan sastra.
Semua pemikirannya berhubungan dengan isu-isu politik demokrasi, filsafat, ekonomi, bisnis, dan kebudayaan secara umum.
Mundur dari dunia tulis-menulis yang menurutnya tidak memberi janji-janji ekonomis, ia pun mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang banyak melakukan survei-survei opini publik terkait pelaksanaan Pilpres (Pemilihan Presiden) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Dan belakangan ia juga menjadi konsultan politik.
LSI yang didirikan Denny JA tercatat telah berhasil memenangkan 30 gubernur dan 80 walikota/bupati di seluruh Indonesia. Sedangkan sebagai konsultan politik, Museum Rekor Indonesia (MURI) memberinya penghargaan sebagai konsultan politik pertama di dunia yang berhasil membantu memenangkan presiden tiga kali berturut-turut, yakni pada pemilihan presiden 2004, 2009, dan 2014.
Pada tahun 2014, ia dianugerahi oleh Twitter Inc sebagai The World’s No 2 Golden Tweet 2014, dan No 1 di Indonesia, karena kicauan akun @DennyJA_WORLD miliknya tentang Pilpres 2014 meraih lebih dari 1 juta retweet.
Kesuksesan Denny JA di dunia survei dan konsultan politik telah mengantarkannya pada suatu tahapan hidup yang dicita-citakannya, yakni financial freedom —sesuatu yang tidak dapat dicapainya dengan menjadi penulis. Pada tahapan ini, ia merasa lebih leluasa bergerak sebab uang bukan lagi masalah.
Dengan uang di tangan, hidup lebih dapat dinikmati dan ditingkatkan kualitasnya karena banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya ialah mengkreasi aneka kegiatan filantropis di bawah program “Indonesia Tanpa Diskriminasi” yang ia dirikan. Ia pun dikenal berhati baik membantu kawan-kawan aktivis segenerasi dan para penulis idealis yang tengah dirundung kesulitan finansial.
Buku puisi “Atas Nama Cinta” diterbitkan sebagai salah satu program Indonesia Tanpa Diskriminasi. Karena itu, isi buku tersebut ialah isu-isu seputar diskriminasi agama, gender, ras, dan orientasi seksual.
Semua isu tersebut, menurut Denny JA, tidak cocok bila disampaikan dalam tulisan biasa atau tulisan akademik karena hanya akan bernilai informatif belaka. Sedangkan ia menginginkan sebuah tulisan yang menyentuh hati, menggugah rasa kemanusiaan —sesuai dengan isu yang diangkatnya. Ia membutuhkan medium lain. Dan ia memilih puisi.
Namun, puisi-puisi yang ia kenal selama ini dirasa kurang bisa menampung gejolak batin yang mendesak-desak untuk segera ditumpahkan. “Saya seperti sedang hamil tua,” ujarnya, saat mencari medium untuk menyalurkan kegelisahannya menyaksikan kasus-kasus diskriminasi yang belakangan marak terjadi. Dan sebagaimana diakuinya sendiri, melalui suatu permenungan yang panjang, akhirnya ia menemukan sebuah medium yang kemudian ia beri nama “puisi esai”.
Sebagaimana umumnya karya sastra, puisi esai adalah fiksi. Namun, celakanya, Denny JA mencantumkan fakta peristiwa kongkrit dalam puisi-puisi esainya, yang dibuat dalam catatan kaki, sehingga secara keseluruhan puisi esai dapat dibaca seperti sebuah karya semi dokumenter. Jelas ini tidak lazim.
Kalaupun puisi konvensional bisa saja mencantumkan catatan kaki, biasanya catatan kaki itu hanya difungsikan untuk menuliskan keterangan istilah atau hal-hal teknis tertentu.
Tapi dalam puisi esai, catatan kaki ialah bagian integral dari tubuh puisi. Betapa tidak, kisah-kisah yang diangkat di dalam puisi esai justru dibangun dari fakta peristiwa yang ada di dalam catatan kakinya. Hal ini berbanding terbalik dengan karya-karya akademik dimana gagasan pokok membangun catatan kaki, dengan demikian catatan kaki hanya sebagai pelengkap, bahkan dalam suatu tulisan ilmiah popular catatan kaki itu bisa saja dihilangkan demi efisiensi atau tujuan lainnya. Dalam puisi esai tidak bisa.
Tubuh puisi dan catatan kakinya adalah satu kesatuan. Seperti raga dan jiwanya. Jika salah satunya hilang maka ia tidak menjadi puisi esai. Bahkan tidak menjadi puisi, dan tidak pula menjadi esai.
Itulah ke-“celaka”-an puisi esai yang dituduhkan oleh banyak orang. Tapi tidak setiap ke-”celaka”-an adalah buruk. Dalam kasus puisi esai, jelas sekali bahwa kritik dan kecaman yang diarahkan kepadanya, termasuk dan terutama kepada Denny JA selaku penggagasnya, justru membuatnya semakin matang dan berwibawa.
Berbagai reaksi pro-kontra seakan menyediakan ruang bagi dirinya untuk diuji dalam laboratorium sejarah sastra. Sejauh ia mampu menyerap berbagai kritik itu menjadi vitamin, sejauh itu pula ia akan tumbuh dan berkembang.
Faktanya sudah 6 tahun terakhir polemik seputar puisi esai terus bergulir. Kehebohannya seakan tak kunjung usai. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kegaduhan yang ditimbulkan oleh puisi esai dan Denny JA merupakan yang paling keras sejak kemerdekaan.
Diakui atau tidak, Denny JA akhirnya menjadi fenomena tersendiri dalam sastra. Selain karena kegaduhan-kegaduhan itu, juga karena visinya tentang masa depan sastra, dan khususnya puisi, yang ia kaitkan dengan era baru yang meniscayakan kebutuhan pada puisi genre baru, dengan kemasan baru, cara penyajian baru, dan melibatkan seni marketing dalam pemasaran produknya, sehingga lebih dikenal masyarakat. Semua itu fenomena baru, belum pernah ada sastra Indonesia.