SERUJI.CO.ID – Kalau ada orang yang paling banyak dihujat tapi juga dipuji, dijauhi sekaligus juga dicari di dunia sastra, tidak lain dan tidak bukan dialah Denny JA.
Sebagian orang menudingnya sebagai penyulut kegaduhan yang tak kunjung usai, tapi sebagian yang lain justru menilainya sebagai penggerak dinamika sastra dan publikasi karya puisi paling produktif setelah era reformasi.
Namanya melambung sejak menerbitkan buku puisi yang diberi judul “Atas Nama Cinta” (2012). Buku itu terdiri atas 5 (lima) puisi panjang berbabak dan mengandung konflik layaknya sebuah naskah drama untuk dipentaskan. Semua puisinya mengangkat isu-isu yang bergetar dalam dinamika sosial masyarakat Indonesia kontemporer.
Namun, bukan kisah-kisah dalam puisi itu yang membuat nama penulisnya banyak dibicarakan, melainkan penamaannya sebagai ‘puisi esai’ yang dianggap orang sebagai janggal dan mengada-ada.
Nama menunjukkan sesuatu, maka penamaan puisi esai niscaya juga mengandung petunjuk terhadap sesuatu itu. Selama ini, dalam anggapan umum, puisi dan esai adalah nama yang masing-masing memiliki definisi tersendiri. Keduanya telah berdiri sebagai bangunan ontologis yang mapan. Menyatukan keduanya begitu saja adalah tindakan sewenang-wenang.
Begitulah tudingan yang dialamatkan kepada Denny JA selaku penggagas puisi esai. Dan belakangan tudingan itu semakin deras dan keras ketika namanya masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014). Ia dituduh berada di balik proyek buku yang menghebohkan itu.
Tapi ia bergeming, dan terus saja menulis, sambil memperluas kemungkinan teoritis baru bagi puisi esai yang sudah kadung dilahirkannya. Belakangan ia bahkan menyebut puisi esai sebagai genre baru sastra. Tentu saja dengan sejumlah argumen yang cukup meyakinkan.
Tak pelak, serangan terhadap dirinya atas klaim tersebut kian menjadi-jadi.
Lagi-lagi ia bergeming. Alih-alih surut langkah menghadapi kritik dan cercaan, ia malah membuat proyek nasional penulisan puisi esai yang melibatkan 170 penulis dari 34 propinsi di Indonesia.
Gagasan ini mendapat sorotan tajam dan sekaligus penolakan dari berbagai komunitas sastra karena dianggap manipulasi sastra. Sejumlah petisi dibuat. Tidak tanggung-tanggung, petisi itu disampaikan pula kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Para penandatangan petisi meminta pemerintah untuk ikut menghentikan proyek manipulatif tersebut. Menyikapi derasnya penolakan tersebut, Denny JA dengan santai bertanya, di mana salahnya orang berkarya? Dan apa urusannya dengan intervensi pemerintah, bukankah kebebasan berkreasi merupakan milik paling berharga para seniman, mengapa harus diserahkan kepada pemerintah?
Bulan April 2018 ini buku-buku tersebut diterbitkan dan diluncurkan dengan menghadirkan para penulisnya, sekaligus menandai lahirnya angkatan baru sastra Indonesia, yakni Angkatan Puisi Esai.