JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Munculnya sosial media, awalnya diharapkan sebagai jawaban terhadap kekuatan media massa arus utama (suratkabar, majalah, tabloid, radio dan televisi) yang mendominasi ruang publik dengan mengelola berbagai bentuk kemasan tulisan dan acara melalui proses agenda setting media, framing dan gatekeeping process.
Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner mengatakan, itulah yang membuat media arus utama ini mempunyai pengaruh terhadap persepsi publik atau kemampuan yang luar biasa membentuk realitas sosial tertentu.
“Namun, sosial media acap kali digunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab menyebarkan hoax dan ujaran kebencian di ruang publik. Bahkan seakan terjadi “perang udara” lewat dunia maya,” ujar Emrus dalam keterangan tertulis yang diterima SERUJI, Jumat (13/4).
Dia menerangkan, penggunaan sosial media semacam itu sesungguhnya merupakan disfungsi media yang dapat menyesatkan opini masyarakat, ketegangan sosial, dan pembodohan publik melalui manipulasi persepsi khalayak.
“Karena itu, penggunaan sosial media semacam ini harus kita lawan bersama dengan gerakan semesta oleh seluruh WNI di manapun berada, utamanya pegawai negeri sipil, pejabat birokrasi, pejabat pemerintah dan pejabat publik lainnya yang gajinya bersumber dari APBN agar mewacanakan dan mem-viral-kan lewat sosial media tentang anti hoax dan ujaran kebencian,” kata yang juga pengamat komunikasi politik ini.
Agar gerakan ini berlangsung masif, ujar Emrus, bagi pegawai serta pejabat publik yang mengambil peran melawan hoax dan ujaran kebencian menjadi bagian dari nilai kinerja orang yang bersangkutan. (ArifKF/SU02)