SERUJI.CO.ID – Salah satu permasalahan hukum dan sosial yang melilit masyarakat Indonesia saat ini, terutama kalangan Rakyat biasa dan miskin adalah posisi mereka yang menjadi korban dan termarjinalkan akibat hilangnya hak-hak mereka atas lahan/tanah.
Hal itu akibat terjadinya sengketa penguasaan dan pemilikan lahan sebagai sumber kehidupan mereka, dalam hal mana permasalahan ini semakin hari kian bertambah rumit dan terkesan adanya ketidakseriusan Pemerintah untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu merupakan kesalahan besar (bahkan berbagai kalangan menyatakan hal itu sebagai suatu kebohongan publik yang seharusnya tidak pantas dilakukan seorang petahana calon Presiden), bila dalam acara Debat Capres putaran ke-2 salah satu kandidat yakni Ir. Joko Widodo mengatakan bahwa selama 3 tahun terakhir selama masa kepemimpinannya tidak ada lagi konflik atau sengketa pertanahan/agraria di Indonesia.
Padahal salah satu poin krusial dalam masalah pertanahan di Indonesia adalah tidak terselesaikannya kasus-kasus dan sengketa pertanahan yang berlarut-larut serta munculnya kembali sengketa-sengketa baru di bidang pertanahan.
Kondisi ini semkin mempersulit kehidupan Rakyat terutama para petani yang tidak lagi memiliki lahan atau lahannya telah beralih kepada pengusaha dengan berbagai modus yang semuanya berujung pada hilangnya hak-hak mereka atas lahan yang menjadi sumber penghidupan bagi keluarga mereka.
Sengketa Hak Atas Tanah
Sengketa hak atas tanah saat ini mewarnai hampir seluruh wilayah Indonesia, baik di perdesaan maupun di perkotaan, yang semuanya membawa konsekwensi terhadap berbagai dimensi kehidupan masyarakat seperti; permasalahan hukum, permasalahan sosial, permasalahan ekonomi, permasalahan politik dan permasalahan keamanan bahkan bisa mengancam keutuhan bangsa ini.
Konflik pertanahan pada kenyataannya telah menyuburkan dan merebaknya praktek monopoli dan spekulasi penguasaan tanah. Tanah sudah dijadikan sebagai komoditi perdagangan yang hanya menguntungkan para pihak pemilik modal. Para petani banyak yang tergusur dari lahannya karena tidak mampu menghadirkan bukti formal kepemilikan berupa sertifikat atas lahannya.
Terjadinya alih fungsi terhadap lahan pertanian, termarginalkannya hak-hak masyarakat adat; terjadinya penggusuran paksa terhadap sejumlah rakyat kecil dari kampung pemukiman yang telah puluhan tahun mereka tempati secara turun temurun akan tetapi mereka tidak mampu menunjukkan dokumen formal berupa sertifikat kepemilikan lahan dimaksud. Sehingga, lahan-lahan tersebut jatuh ke tangan pemilik modal atau perusahaan yang telah memegang bukti formal sertifikat atas lahan permukiman rakyat kecil tersebut.
Berbagai bentuk sengketa lahan yang terjadi tentunya tidak berdiri sendiri, akan tetapi sangat dipengaruhi berbagai variabel, seperti kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan yang ada, ketidak patuhan terhadap aturan yang ada, lalainya pemerintah dalam mencegaha terjadinya sengketa dan berbagai faktor terkait lainnya.
Bila ditelaah secara seksama paling tida terdapat tiga (3) typologi sengketa pertanahan yang terjadi yaitu :
- Sengketa yang bersifat horizontal, yaitu sengketa pertanahan yang melibatkan anggota masayarakat yang satu dengan yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya;
- Sengketa yang bersifat vertikal, yaitu sengketa pertanahan antara warga masyarakat dengan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, antara warga masyarakat dengan Perusahaan Negara, BUMN/BUMD, Perusahaan Swasta.
- Sengketa yang bersifat Horizontal-Vertikal, yaitu sengketa pertanahan yang melibatkan anggota masyarakat dengan pengusaha/investor yang diback up pemerintah (oknum pejabat) dan para preman.
Berbagai typologi sengketa tersebut pada umumnya semua hanya mengakibatkan kerugian kepada warga masyarakat yang berada dalam posisi lemah dari berbagai bidang, termasuk dalam akses memenangkan perkara persengketaan apabila dibawa penyelesaiannya melalui jalur hukum.
Berbagai Data Sengketa/Konflik di Bidang Pertanahan
Berkaitan dengan pernyataan kontroversial dan tidak akuratnya informasi yang disampaikan calon Petahana, Ir. Joko Widodo tentang tidak adanya sengketa pertanahan/sengketa lahan kurun waktu 3 tahun terakhir pemerintahannya ternyata menimbulkan reaksi yang luas dari berbagai kalangan. Bukan hanya dari pihak Partai Politik dan tokoh yang berseberangan dengan Rezim Penguasa saat ini, tetapi juga berbagai kalangan lain yang selama ini konsern terhadapa advokasi pembelaan hak-hak rakyat yang menjadi korban sengketa dan ketidak adilan dalam lapangan agraria.
Sehingga pernyataan Petahana tersebut dengan mudah dapat dipatahkan oleh berbagai pihak dengan menampilkan berbagai data sengketa atau konflik pertanahan yang terjadi di masyarakat yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
Merujuk kepada berbagai sumber, ternyata pihak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang sendiri mencatat data kasus sengketa lahan di Indonesia selama 4 tahun terakhir yaitu periode 2015–2018 tercatat kasus sengketa pertanahan sebagai berikut :
No | Tahun | Jumlah Sengketa | Terselesaikan |
1 | 2015 | 2.145 | 947 |
2 | 2016 | 2.996 | 1.570 |
3 | 2017 | 3.293 | 1.034 |
4 | Agustus 2018 | 2.368 | 480 |
Sumber :https://M.cnnindonesia.com.
Dari 34 Provinsi, terdapat 5 Provinsi yang mempunyai sengketa lahan/pertanahan terbesar yaitu :
- Provinsi Jawa Barat …………2.427 kasus;
- Provinsi Sumatera Utara…..1.863 kasus;
- Provinsi Sulawesi Selatan….1.858 kasus;
- Provinsi Sumatera Barat……1.307 kasus,dan
- Provinsi Jawa Tengah………..1.145 kasus.
Bahkan dalam statemennya kepada pers/awak media pada tanggal 31 Oktober 2018, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Jalil menyatakan bahwa data yang ada menunjukkan saat ini lebih dari 8.000 kasus sengketa lahan di Indonesia.(https://m.merdeka.com).
Sementara itu sumber lainnya menyampaikan data konflik agraria/pertanahan, seperti yang dipublis oleh Konsosrsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa untuk tahun 2017 aja terjadi terjadi 659 konflik agraria dengan luas objek sengketa mencapai 520.491,87 Ha yang melibatkan 652.738 Kepala Keluarga, dimana jumlah konflik tersebut mengalami peningkata sebanyak 50 persen dibanding Tahun 2016.
Secara lebih rinci untuk 3 tahun, kurun waktu 2015 – 2017 pihak KPA mencatat data konflik agraria/pertanahan sebagai berikut :
No | Bidang Konflik | Jlh.Konflik | Luas lahan(Ha) |
Perkebunan | 208 | 194.453,27 | |
Kehutanan | 30 | 137.204,47 | |
Proferti | 199 | 10.337,72 | |
Infrastruktur | 94 | 56.607,9 | |
Pertanian | 78 | 38.986,24 | |
Pesisir/Kelautan | 28 | 41.109,47 | |
Pertambangan | 22 | 45.792,8 |
Sumber :https://nasional.kompas.com
Jelas bagi semua pihak dengan data-data tersebut maka tidak tepat dan menjadi kesalahan vatal bila disebut tidak ada konflik agraria/pertanahan 3 tahun terakhir di Indonesia.
Penutup.
Terlepas dari perdebatan yang terus begulir saat ini tentang kebenaran data dan pernyataan yang disampaikan calon Presiden Petahana maka yang menjadi sorotan penting bagi masyarakat ke depan adalah siapakah kandidat Presiden yang benar-benar punya komitmen untuk menyelesaikan konflik pertanahan tersebut secara berkeadilan dan sesuai dengan amanat konstitusi dan reformasi agraria yang diamanahkan.
Semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam menetukan pilihannya.