MENU

Merenungkan Isu Pesanan Yang Menyerang Pertamina dan Kisah Bell Pottinger

Ingatan saya langsung melayang ke kasus besar di Inggris dan Afrika Selatan: kisah kejatuhan firma PR ternama dunia, Bell Pottinger.

Firma yang seharusnya menjaga reputasi klien justru menjadi perancang manipulasi terbesar dalam sejarah industri komunikasi modern.

Sekitar tahun 2017, Bell Pottinger bekerja untuk Oakbay Investments, perusahaan milik keluarga Gupta. Ia pengusaha kuat yang dituduh mencengkeram kekuasaan politik di Afrika Selatan (state capture).

Untuk membela kliennya, Bell Pottinger menciptakan narasi besar: mereka menyebarkan istilah “white monopoly capital.”

Istilah ini, modal monopoli kulit putih, digunakan untuk mengalihkan kemarahan rakyat dari isu korupsi menuju perpecahan rasial.

Mereka menciptakan blog palsu, akun anonim, dan konten viral yang menyalakan api sentimen sosial.

Dalam hitungan bulan, masyarakat terbelah, dan kepercayaan publik rusak.

Ternyata aneka informasi yang disebar itu hoax untuk menggiring opini dalam rangka pertarungan bisnis.

Keluarga Gupta sendiri bukan kulit putih, melainkan keturunan India yang menetap di Afrika Selatan sejak awal 1990-an.

Mereka membangun konglomerasi besar di sektor media, pertambangan, dan teknologi melalui perusahaan Oakbay Investments, serta dikenal memiliki kedekatan erat dengan Presiden Jacob Zuma.

Ketika berbagai bukti korupsi dan praktik state capture mulai terungkap, Bell Pottinger membelokkan kritik itu menjadi isu rasial.

Itu seolah-olah serangan terhadap keluarga Gupta bukanlah penolakan terhadap korupsi, melainkan bagian dari konspirasi “kapital kulit putih” yang ingin menjatuhkan usaha bisnis yang bukan kulit putih, asal India.

Dari situlah lahir propaganda “white monopoly capital” — narasi palsu yang menukar etika dengan ras, dan kebenaran dengan ilusi.

Ketika kebenaran akhirnya terungkap, Bell Pottinger dihukum oleh Public Relations and Communications Association (PRCA) Inggris.

Klien besar mereka mundur satu per satu. Perusahaan itu akhirnya runtuh, tenggelam oleh kampanye kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.

Kisah ini terekam dalam laporan The Guardian dan The New Yorker, dua media besar yang menulisnya dengan nada getir: bagaimana perusahaan PR yang pernah berpengaruh di dunia, mati oleh tangannya sendiri.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER