
Demokrasi Liberal
Pemilihan langsung dalam semua tingkatan politik di Indonesia telah berlangsung sejak 2004.
Amandemen konstitusi yang berlangsung pada 1999-2002, memang mengarahkan Indonesia menjadi negara liberal, baik politik, ekonomi maupun budaya.
Bersamaan dengan pemilihan langsung, Indonesia juga melakukan desentrallisasi, sehingga otoritas kekuasaan yang terpusat menjadi terdesentralisasi. Cabang-cabang kekuasaan yang di masa orde baru berpusat pada pemerintah, saat ini terpecah belah dalam banyak cabang, dengan munculnya pemegang otoritas-otoritas kekuasaan penting di luar negara, seperti KPK, OJK, KPPU, KPU dll. Situasi terakhir ini menempatkan negara hanya menjadi pemain kecil dari “political sphere” dalam mengurus persoalan bangsa.
Demokrasi liberal, yang tadinya dimaksudkan untuk mendorong adanya partisipasi publik dan “civil society” saat ini terjebak berhadapan dengan berbagai fenomena, antara lain munculnya populisme, munculnya “Radikalisme Islam” dan oligarki pemilik modal yang ingin ikut menentukan arah politik kita.
Populisme muncul dari situasi keputusasaan publik akibat beratnya persoalan ekonomi, dan kontestasi modernisme yang menampilkan kehidupan bebas (pluralism, LGBT, Fre Sex, Pornografi, Porno aksi dll). Persoalan ekonomi terjadi karena liberalisme memberikan keuntungan berlipat pada segelintir pemilik modal di satu sisi, sementara di sisi lain memperburuk kemiskinan yang ada.
Sedangkan kehidupan bebas menciptakan situasi kekacauan dalam tata budaya dan keluarga yang saat ini bertumpu pada budaya timur dan religiusitas. Kedua hal ini bertemu pada suatu titik yang membuat rakyat kebanyakan frustasi. Dalam kefrustasian ini, lahir kerinduan akan tema-tema populisme dari figur yang mencitrakan sosok populis.
“Radikalisme Islam” juga muncul sebagai jawaban atas kefrustasian rakyat. Islam sebagai sebuah ajaran pembebesan, baik dari sisi pemikiran maupun keibadahan, menjadi jalan pintas buat rakyat yang menderita. Pengajian-pengajian ala Habib Rizieq yang keras sampai kepada pengajian ala “Majlis Rasulullah” yang lebih lembut, semakin menggunung pengikutnya.
“Massvorming” terjadi manakala kegelisahan rakyat bertemu dengan pemimpin idolanya. Pada masa Ahok, yang menampilkan antitesa dari kelompok Islam ini, benturan terjadi.