Belum lama, sebuah media menampilkan karikatur yang kemudian diprotes sebuah organisasi masyarakat. Protes dilakukan dengan demonstrasi, persis seperti sedang berhadapan penguasa. Apakah benar karikatur pers itu bentuk kesewenangan media massa, sehingga perlu dilakukan aksi seperti itu?
Pers dilindungi Undang Undang. Karenanya, pers memiliki kekuasaan. Kekuasaannya dibatasi hanya dengan kode etik, dan siapapun tidak bisa mengintervensi kerja jurnalistiknya. Walau secara praktek, banyak diduga si pemilik ikut campur internal redaksi.
Kekuasaan selalu terkait dengan kewenangan, dan berlebihan menggunakan kekuasaan mewujud sebagai kesewenangan. Apalagi, ketika kekuasaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk mendatangkan keuntungan. Tidak peduli dengan akibat di masyarakat, asal laris dan manis, dimunculkanlah kehebohan yang “diambil dari sudut tertentu sehingga tiba-tiba booming”, viral.
Karikatur di dunia pers ditujukan sebagai “kritik sosial”, mengandung opini dari media pers yang menerbitkan, berdasarkan informasi yang dimiliki. Media bisa beropini, tapi tidak boleh mencampurkannya dengan berita. Salah satunya dengan bentuk karikatur.
Seperti yang pernah terjadi di luar negeri, dengan karikatur Charli Webdo yang dimuat di media, isinya secara terang-terangan membuat opini yang menyerang keyakinan umat Islam. Ada “agenda” dari media. Bukan sekedar memberitakan fakta. Ada “kebebasan” yang memiliki kekuasaan atas orang lain.
Yang lebih berkuasa, tentu bisa lebih memperbaiki. Jika kekuasaan kebebasan pers digunakan bukan untuk kebaikan, dampak kerusakannya juga besar. Agenda setting media pers menjadi pedang tajam yang bisa melukai, sehingga landasan moral pelaku jurnalistik menentukan hasilnya.
Dari awal sudah ada niat
Karikaturpun mestinya kan ada kide etik…