Tidak semua orang Islam itu dibenarkan melakukan ijtihad sendiri-sendiri. Bahkan tidak semua ulama juga dibenarkan untuk berijtihad, kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan untuk berijtihad. Karena dalam komunitas para ulama itu memiliki bermacam-macam fak yang digeluti dan bertingkat-tingkat juga dari segi keilmuan.

Contoh, ada di kalangan para ulama yang lebih mengkhususkan diri untuk menjaga Alquran dari sisi hafalan, tata cara baca yang sesuai tajwid dan makharijul huruf (aturan baca ayat dan cara pelafadazan huruf hijaiyah), seni baca dengan lagu-lagu indah, kaligrafi ayat, dan sebagainya yang tidak menyentuh unsur metode pengambilan hukum dari ma’na ayat Alquran. Maka para ulama dari golongan ini tidak dibenarkan untuk berijtihad dalam menentukan hukum syariat.

Demikian juga para ulama yang mengkhususkan diri untuk menjaga Hadits, namun dari sisi pengumpulan dan penulisan, klasifikasi derajat hadist, penghafal dan penyampai/perawinya, maupun yang eksis mengadopsi sastra yang terkandung dalam bahasa Hadits, dan sebagainya yang juga tidak menyentuh unsur metode pengambilan hukum dari ma’na Hadits. Maka para ulama dari golongan ini tidak dibenarkan untuk berijtihad menentukan hukum syariat.

Adapun para ulama yang berhak melakukan ijtihad, haruslah memiliki beberapa persyaratan, antara lain:

• Bersifat adil dan taqwa.
• Memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan asbabun nuzul (yakni sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapus).
• Memahami Hadits dan asbabul wurudnya (sebab-sebab munculnya hadits).
• Menguasai bahasa Arab secara detail, dari segala aspek yang terkait.
• Mengetahui tempat-tempat atau hasil ijma’ para ulama khususnya dari kalangan para shahabat.
• Memahami kaedah ushul fiqih.
• Memahami maqashidus syariah (maksud-maksud syari’at).
• Memahami masyarakat dan adat-istiadatnya yang terkait dengan hukum Islam.
• Menguasai ilmu ushuluddin/tauhid/aqidah (salah satu cabang dari ilmu-ilmu keislaman yang membahas pokok-pokok keyakinan dalam Islam.
• Memahami ilmu mantiq (tata cara berlogika).
• Menguasai cabang-cabang ilmu fiqih.

Sy. Muadz bin Jabal RA mengisahkan, ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman, beliau SAW bertanya kepadanya, “Apa yang akan kamu lakukan jika dihadapkan kepadamu suatu masalah?”

Sy. Muadz bin Jabal RA menjawab, “Aku putuskan dengan hukum yang ada di Al-Qur’an.”

“Jika tidak ada hukumnya di dalam Al-Qur’an?” tanya Nabi SAW

Sy. Muadz katakan, “Aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW.”

Rasulullah SAW bertanya kembali, “Jika tidak ada hukumnya dalam As-Sunnah?”

“Aku akan berijtihad dengan pendapatku,” tegas Sy. Muadz bin Jabal RA

Rasulullah SAW menepuk dadanya. “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya, demi keridlaan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).

Dalam catatan wikipedia disebutkan, ijtihad itu secara bahasa adalah sebuah usaha sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja, sesudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Alquran maupun Hadits, dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Namun menurut kesepakatan para ulama, bahwa ijtihad yang bersifat mutlak untuk menentukan hukum itu hanya boleh dilakukan oleh para para ulama mujtahid yang telah menenuhi persyaratan tersebut di atas.

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat Islam untuk pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Ijtihad itu juga tidak boleh bertentangan dengan nash Alquran dan Hadits. Jadi seorang mujtahid itu harus mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil Alquran dan Hadits, namun jika tidak menemukan penyebutan secara implisit dalam tekstual dalil, maka ia berhak berijtihad untuk menentukan hukumnya.

Contoh cara menghukumi haramnya minuman beralkohol. Alquran dan Hadits tidak menjelaskan nama alkolhol. Setelah menyelidiki dengan cermat dan mempelajari ayat-ayat Alquran dan Hadits, maka para mujtahid meng-qiyas-kan sifat minuman beralkohol itu sama dengan khamar (arak), yaitu sesuatu yang memabukkan.

Dalam Alquran disebutkan larangan (haramnya) minum khamar, maka larangan ini pula yang dipergunakan untuk haramnya minum Alkolhol, karena dinilai sama-sama memabukkan.

Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi (berkorban untuk berhala) dan mengundi nasib, adalah perbuatan keji dari setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS. Almaidah, 90).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama