Saat seorang suami berada dalam lingkungan rumah tangga dan mengurus hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan keluarganya, maka teman diskusi yang paling tepat adalah istrinya. Sedangkan saat suami bertugas mengemban tanggung jawab sebagai salah satu warga masyarakat, maka teman diskusi yang paling baik adalah mitra pergaulannya yang terpercaya bagi dirinya.
Sy. Abdullah bin Abbas RA menceritakan, setahun lamanya ia hendak bertanya kepada Sy. Umar bin Khathathab tentang makna sebuah ayat, tetapi ia tak berani menanyakan karena hormatnya kepada Sy. Umar. Ketika musim haji tiba, ia pergi berhaji bersama Sy. Umar.
Dalam kesempatan pulang dari berhaji, ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang wanita di antara para istri Rasulullah SAW yang diajak bekerja sama menentukan kebikjasanaan beliau?”
“Mereka adalah St. Hafshah dan St. Aisyah,” jawab Sy. Umar.
“Demi Allah, aku bermaksud menanyakan masalah ini kepada engkau sejak setahun yang lalu, tetapi aku tidak berani karena menghormati kehebatan engkau.”
“Jangan begitu,” sergah Sy. Umar. “Apa yang engkau duga aku mengetahuinya,tanyakan langsung kepadaku. Jika aku memang mengetahuinya, akan kujelaskan padamu.”
Selanjutnya, Sy. Umar bercerita kepada Sy. Abdullah bin Abbas. Katanya pada masa jahiliah (kebodohan), para shahabat tidak pernah mengikutsertakan wanita dalam suatu urusan, sampai tiba waktunya Allah menentukan kedudukan dan peranan mereka, seperti yang tersebut di dalam firman-Nya.
Pada suatu waktu ketika Umar sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba istrinya berkata, “Bagaimana kalau engkau buat begini dan begitu?”
Umar menjawab, “Mana engkau tahu. Engkau tidak usah turut campur dan jangan susah-susah memikirkan urusanku.”
“Engkau ini sangat aneh, wahai anak Khaththab,” komentar istri Umar.
“Engkau tidak mau bertukar pikiran denganku. Padahal putrimu, Hafshah, selalu bertukar pikiran dengan Rasulullah SAW sampai pernah sehari semalam dia bermarahan.”
Mendengar hal itu, Umar segera mengenakan pakainnya. Lalu pergi ke rumah Hafshah. Sesampai di rumah Hafshah, ia bertanya, “Wahai putriku, benarkah engkau suka membantah Rasulullah SAW sampai sehari semalam bermarahan?”
“Demi Allah, kami hanya bertukar pikiran,” jawab St. Hafshah RA. (HR. Muslim).
Mengajak diskusi istri itu sama halnya dengan menghormati serta meletakkan kedudukannya sebagai wanita dewasa, maka secara otomatis sang istri mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut menjaga kemashalatan rumah tangganya.
Misalnya seorang suami memiliki anak yanng sudah waktunya masuk sekolah, maka hendaklah ia berdiskusi dengan istrinya, kira-kira di sekolah mana yang paling tepat untuk mendaftarkan sang anak tersebut. Demikian juga dengan permasalahan rumah tangga yang lainnya.
St. Aisyah RA mengemukakan bahwa paa suatu malam istri Nabi SAW yang bernama St. Saudah binti Zam’ah keluar rumah. Lalu ia terlihat oleh Sy. Umar yang mengenalinya, maka Sy. Umar berkata, “Sungguh engkau wahai Saudah, demi Allah, tidak samar bagi kami.”
Maka St. Saudah menemui Nabi SAW yang ketika itu berada di rumah St. Aisyah sedang makan malam. Ia menceritakan hal tersebut kepada beliau SAW (benarkah seorang istri tidak boleh keluar rumah?).
Beliau SAW tidak langsung menjawabnya. Baru setelah turun wahyu dari Allah SWT, beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar (rumah) untuk keperluan kalian (yang sekira tidak menimbulkan fitnah dunia dan akhirat).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sekalipun istri itu diijinkan keluar rumah untuk menunaikan keperluannya, yang tanpa harus ditemani suami atau mahram lainnya, namun tetap ada batasan-batasan yang harus selalu dijaga, sebagaimana dikatakan oleh Sy. Jabir RA, ia mengutarakan bahwa Nabi Mubammad SAW bersabda, “Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak diterima oleh Alah SWT, dan kebaikan mereka tidak sampai ke langit. Mereka adalah budak yang lari dari tuannya, istri yang menyebabkan kemarahan suami, dan orang-orang yang mabuk hingga ia sadar.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Ijin dari suami serta mengetahui batasan dimana sang suami itu memberi ijin, sangatlah penting bahkan dapat menentukan kebaikan atau kerugian nasib di akhirat nanti bagi setiap istri. Karena itu pula Nabi Muhammad SAW dengan tegas menyatakan, “Wanita tidak boleh membelanjakan sesuatu dari rumah suaminya, kecuali dengan izin (suaminya).”
Lantas ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah termasuk makanan?”
Rasulullah SAW menjawab, “(Makanan) itu adalah kekayaan kami yang paling utama.” (HR. At-Tirmidzi).
Jadi untuk melakukan sesuatu di luar kewajiban yang rutin, maka hendaklah sang istri selalu mengajak suaminya untuk berdiskusi dan sekaligus meminta ijin, terutama jika akan mengambil seuatu kebijakan terkait urusan rumah tangga.