Di Indonesia, ada partai yang melabeli diri Islam, ada pula yang konstituennya muslim namun menyatakan diri nasionalis. Semuanya legal, dan beginilah sistem politik di negeri ini.

Muslim sebagai mayoritas tidak membuat partai Islam menjadi mayoritas, terbukti dengan beberapa kali pemilu. Dulu, Partai Masyumi pernah, dan tidak lama bertahan. Banyak sebab, dan barangkali demokrasi belum berjodoh dengan politik Islam.

Negara-negara di Timur Tengah banyak yang mengalami kegagalan demokrasi, entah itu dari internal maupun tekanan eksternal. Beberapa negara bahkan sukses mengantarkan partai Islam menjadi pemenang pemilu, namun hanya sebentar dan habis itu kacau balau.

Tulisan ini tidak untuk menganalisis secara lengkap fenomena tersebut, yang sudah dibahas para ahlinya di seantero dunia. Fokus utamanya mengambil pelajaran atas berbagai kesulitan partai politik yang melabeli diri Islam, agar mampu bermanfaat bagi umat. Itu pun sebagian, tidak menyeluruh.

Beratnya “partai Islam”, katakanlah begitu, utamanya dari sisi internal. Orang Islam punya prinsip untuk tidak riya’, sehingga secara psikologis menilai negatif orang-orang yang berperilaku Islami tapi ‘mengejar kekuasaan’ . Bisa jadi politisi muslim yang memperjuangkan umat tidak berfikir demikian, sehingga PR-nya mengubah persepsi negatif khalayak. Bisa?

Sayangnya, media sudah menjadi ‘pengganti nabi’ umat ini. Sangat mudah mengubah persepsi masyarakat dengan berbagai teknologi komunikasi massa yang digunakan. Benarlah sabda Rasulullah bahwa akhir zaman akan penuh dengan fitnah.

Faktor tersebut bahkan dimanfaatkan oleh pihak yang berseberangan sebagai titik kelemahan yang mudah diserang. Muncullah tuduhan-tuduhan “memanfaatkan agama untuk kekuasaan”, apalagi sudah menjadi ‘budaya’ kalau menjabat pastilah akan kaya.

Tantangannya, Partai Islam harus menjadi populer sebagai problem solver bagi semua masyarakat, bahkan ketika tidak memegang kekuasaan. Barangkali hanya dengan cara inilah membuat masyarakat mampu menghilangkan persepsi riya’ kepada partai Islam, karena sudah langsung merasakannya.

Islam lekat dengan moral. Ini sebuah keunggulan nyata. Namun menjadi titik lemah juga dalam politik. Seperti yang sudah dimaklumi, hasrat berkuasa sangat dengan amoral. Partai Islam tak bermoral? Siap-siap jadi bulan-bulanan. ‘Wong’ bermoral baik saja sudah dianggap tidak klop dengan kekuasaan.

Oleh karena banyak titik lemah tersebut, politisi dan seluruh komponen partai Islam dituntut sempurna, sampai harus ekstra sempurna menjaga pertahanan dirinya terhadap fitnah, dan jebakan-jebakan fitnah.

Sisi lainnya, Islam menekankan kepada pribadi bukan sistem. Empat khalifah setelah Rasulullah bertumpu pada kualitas pribadinya, bukan sistem. Kelembagaan kepartaian serasa membatasi pribadi-pribadi potensial yang seharusnya bisa menjadi pemimpin masa depan, barangkali karena selalu ‘berlindung’ ke mekanisme partainya. Ketika ada yang ‘nyeleneh’, ditendang keluar. Oleh karena itu, tantangan berikutnya, Partai harus bersikap fleksibel terhadap individu-individu dengan tidak membesar-besarkan konflik antar pribadi dengan partainya.

Ada lagi, bentuk partai atau golongan memiliki kelemahan mendasar, yakni mudah keluar dari jalan kebenaran karena fanatisme kelompok. Se-Islami apapun, kebanggaan terhadap golongannya mendorong berlaku angkuh dan merendahkan golongan lainnya. Ini adalah langkah-langkah menolak kebenaran. Oleh karenanya, partai berlabel Islam harus mampu membina kader-kadernya terhindar dari hal tersebut.

Ulasan di atas menegaskan bahwa membawa partai berlabel Islam itu berat, namun bukan berarti tidak bisa. Yang penting, selalu sadar diri.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama