Cemburu tanda cinta. Semakin besar cinta, maka semakin besar pula kadar cemburu yang dimiliki. Namun, jangan sampai rasa cemburu itu justru membuat hidup tak tenang dan selalu berpikir negatif terhadap pasangan. Perlu adanya tindakan-tindakan bijak untuk mencegah efek negatif dari cemburu itu sendiri.
Rasulullah bahkan mewajibkan bagi seorang suami memiliki sifat cemburu kepada istrinya. Rasulullah bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai pria, dan dayuts,” (HR Nasa’i, Hakim, Baihaqi, dan Ahmad). Dayuts adalah suami/kepala keluarga yang tidak cemburu terhadap istrinya.
Bukan hanya istri, seorang suami juga dituntut memiliki cemburu kepada istrinya agar terjaga rasa malu dan kemuliaannya. Kecemburuan itu dibenarkan oleh Rasulullah. Cemburu ini merupakan fitrah manusia dan termasuk akhlak mulia. Cemburu ini dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan melanggar syariat.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Sa’ad bin Ubadah Ra berkata: “Seandainya aku melihat seorang pria bersama istriku, niscaya aku akan menebas pria itu dengan pedang.” Nabi Saw bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa`ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa`ad dan Allah lebih cemburu dari padaku,” (HR Bukhari Muslim).
Nabi kemudian melanjutkan, “Sesungguhnya Allah cemburu, orang beriman cemburu, dan cemburu-Nya Allah jika seorang Mu’min melakukan apa yang Allah haramkan atasnya,” (HR Imam Ahmad, Al Bukhari, dan Muslim).
Dalam manajemen cemburu pasangan, Rasulullah mengedepankan memperhatikan hati dan perasaan istrinya. Dalam suatu riwayat disebutkan Aisyah Ra adalah wanita yang paling meledak-ledak bila sedang cemburu. Pernah suatu ketika Aisyah menumpahkan makanan yang diberikan seorang wanita kepada Rasulullah. Makanan itu dilempar. Kemudian diganti makanan berikutnya. Sama dengan nasib makanan sebelumnya, makanan tersebut dibanting lagi. Padahal kejadian itu disaksikan banyak sahabat.
Rasulullah Saw bijak menyikapi kecemburuan tanpa menyakiti istrinya. Ia lantas memunguti pecahan-pecahan piring dengan sabar, tidak terpancing emosi, sambil mengatakan kepada wanita pembawa makanan itu, “Ibu kalian sedang cemburu”.
Rasulullah memilih sabar dalam menyikapi kecemburuan istrinya. Seperti saat Aisyah Ra cemburu kepada istri rasul lainnya yang bernama Shafiyah binti Huyai Ra. Saat itu Aisyah keluar bersama Rasulullah dan beberapa istri beliau ikut serta. Pada saat itu barang bawaan Aisyah ringan dan menunggangi unta yang kuat, sedangkan barang-barang Shafiyah Ra berat dan dia menunggangi unta yang lemah. Akibatnya unta Shafiyah berjalan lamban sehingga rombongan itu terpaksa berjalan pelan.
Rasulullah Saw kemudian memindahkan barang-barang Aisyah ke unta Shafiyah dan pindahkan barang-barang Shafiyah ke unta Aisyah agar bisa meneruskan perjalanan. Namun, melihat hal itu, Aisyah emosi dan berkata “Wahai hamba Allah, bagaimana bisa Rasulullah mengesampingkan kita dan mendahulukan perempuan Yahudi ini.”
Dengan serta merta Rasulullah Saw menjawab “Wahai Ummu Abdillah, barang bawaanmu ringan, sementara barang bawaan Shafiyah berat, maka kami pindahkan barang-barangnya ke untamu dan barang-barangmu ke untanya”
Aisyah berkata, “Bukankah engkau Rasulullah?” Rasulullah hanya tersenyum seraya berkata, “Apakah engkau masih meragukanku wahai Ummu Abdillah?”
“Bukankah engkau Rasulullah? Tapi mengapa tidak adil?” ujar Aisyah.
Waktu itu ayah Aisyah, Abu Bakar Ra, mendengar perkataan itu dan bersikap kesal. Abu Bakar lalu mendatangi Aisyah dan hendak menamparnya. Akan tetapi, Rasulullah mencegahnya. “Sabar, Abu Bakar,” begitu ucap Rasul.
Rasulullah kemudian menjelaskan perkara itu dengan sabar sehingga kecemburuan Aisyah yang meledak-ledak bisa dikontrol lagi. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah. Cemburu yang disukai Allah adalah cemburu yang disertai dengan keragu-raguan, dan cemburu yang dibenci Allah ialah cemburu yang tidak disertai keragu-raguan,” (HR Abu Daud).
Sebaiknya kl menulis ttg sosok Rasulullah yg mulia tak perlulah pake ilustrasi wajah/tubuh manusia. Banyak kok ilustrasi yg bisa menggambarkan cinta.
Tolong lah diperhatikan.