Kamis 11 Juni 2015, di Indonesia, adalah Kamis ke 400 dari aksi Kamisan. Para ibu dan aktivis lain, di Jakarta juga melakukan aksi Kamisan di seberang istana. Mereka juga mencari anak, suami, ayah, ibu mereka yang hilang karena politik.
Hari itu, sebuah karangan bunga dikirim kepada Presiden Jokowi dengan ucapan menagih janji. Mereka aktivis yang keluarganya hilang meminta Jokowi menepati janji kampanye. Banyak poster dipasang: Jokowi, tuntaskan janji. Dimana keluarga kami yang hilang?
Luar biasa. Hari ini adalah kamis ke 400, para aktivis ini bergerak. Di ujung tahun 2006, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama Kontras, lembaga hak asasi manusia, merumuskan perjuangan mencari aktivis politik yang dihilangkan secara paksa.
Mereka yang hilang, tak hanya kasus politik di tahun 1998. Widji Tukul, sang penyair, termasuk korban yang hilang. Termasuk diperingati di sana Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II. Namun korban yang hilang juga mencakup kasus politik tahun 1960an.
Mereka juga demo di depan istana. Mereka juga demo di hari Kamis sore. Gerakan para ibu di Plaza de Mayo ikut menginspirasi. Namun mereka menambahkan identitas dengan simbol payung hitam. Juga aksi diam.
Gerakan ini terus bertahan. Tanggal 18 Januari 2017, bahkan mereka merayakan 10 tahun usia gerakan.
Di tahun 2015, datanglah momen. Saya tersentuh untuk ikut mengabadikan kisah aksi Kamisan seberang istana. Momen saat itu adalah 400 aksi Kamisan. Saya mengabadikannya dalam puisi esai. Saya teringat janji saya pada diri sendiri di tahun 1997, 28 tahun sebelumnya.
Tanggal 30 April 2018, adalah peringatan 41 tahun gerakan para Ibu mencari anak yang hilang di Plaza de Mayo. Sekali lagi saya revisi puisi esai itu dan siap dipublikasi untuk publik secara luas.
Saya memilih kisah cinta yang terselip dalam aksi Kamisan ke 400 di seberang istana. Kisahnya bermula dari sepasang keluarga muda di Jogjakarta. Sang istri baru saja hamil. Suaminya bukan aktivis politik. Sang suami seorang seniman, penjual jasa kreatif memvideokan apapun peristiwa.
Suatu ketika datang order agar ia meliput demonstrasi menentang dan meminta Soeharto diganti. Itu tahun 1998. Hal yang biasa suami pergi ke luar kota mencari nafkah. Entah mengapa, kali itu, sang istri punya firasat beda.
Ia antar suami ke stasiun kereta. Entah mengapa, tiba tiba, ia minta suami membatalkan pergi. Sang suami hanya senyum dan meyakinkan istri. Semua baik baik saja.
Kapan kembali, tanya istri. Kamis, jawab suami. Kamis kapan? Tanya istri lagi. Sang suami berkelakar menggoda istri. Ujar suami: mungkin Kamis depan, atau Kamis depannya lagi, atau Kamis tahun depannya lagi. Suami tertawa melihat istrinya bertambah cemas, lalu memeluk menenangkannya.
Jakarta rusuh, bulan Mei 1998. Sejak kerusuhan, suami tak lagi berkabar. Setiap hari Kamis, Lina, nama sang istri, menunggu di stasiun kereta. Siapa tahu suami pulang di hari Kamis, sesuai janji. Ia menunggu hingga kereta terakhir.
Namun di Kamis itu suami tak kunjung pulang. Ia tunggu lagi di Kamis depan, Kamis bulan depan, Kamis tahun depan. Suami tak kunjung pulang. Kereta terakhir juga sudah lewat, tanpa ada suami di dalamnya.
Bertahun kemudian, sang istri dan anaknya yang membesar pindah ke Jakarta. Ia ingin lebih dekat dengan kota yang telah membuat suami hilang. Di kota ini, ia berkenalan dan akhirnya bergabung dengan aksi Kamisan seberang istana.
Puisi esai memang tepat untuk menggambarkan kisah ini. Ada drama di dalam puisi panjang itu. Namun ada pula kisah nyata, yang memang terjadi dalam sejarah soal aksi Kamisan dan orang hilang. Kisah nyata itu bisa diselipkan dalam catatan kaki puisi esai. Bagi yang ingin tahu fakta sosialnya, dapat mengeksplor lebih jauh lewat catatan kaki.
Namun dalam puisi esai, drama yang dilukiskan tetaplah sebuah fiksi belaka. Justru dengan fiksi, kisah yang dituangkan lebih bisa didramatisasi agar lebih menyentuh. Opini lebih mudah menyelinap lewat imajinasi yang fiktif dalam puisi esai itu.
Berbeda dengan puisi esai lain, saya tuangkan kisah “Kutunggu di Setiap Kamisan,” dalam kisah bergambar. Ini medium lain dari puisi esai: puisi berikut gambar atau lukisan.