SERUJI.CO.ID – Jangan pernah mengabaikan efek politik air mata para ibu. Apalagi para ibu yang mencari anak mereka yang hilang. Tak kita duga daya tahan dan pengorbanan yang para ibu ikhlas lakukan. Karena air mata para ibu itu, bahkan sebuah rezim politik dapat tumbang.
Itulah kesan pertama saya dengan gerakan para ibu dalam kasus legendaris “The Mothers of Plaza de Mayo.” Hari itu, sekitar tahun 1997, berjam-jam saya duduk di perpustakaan di Ohio State University, Amerika Serikat.
Dalam tugas membuat makalah, saya sebagai mahasiswa Ph.D saat itu, bidang Comparative Politics, tengah kecanduan belajar teori dan kasus Transisi Demokrasi dan Konsolidasi Demokrasi. Begitu banyak buku yang saya lahap. Kadang begitu lelah, sayapun acapkali tertidur di perpustakaan.
Untuk kasus Amerika Latin, khususnya Argentina, sayapun berjumpa dengan gerakan para ibu di Plaza de Mayo.
Awalnya tanggal 30 April, 1977. Seorang ibu bernama Azucena Villaflor De Vincenti ditemani oleh belasan ibu lainnya. Mereka mencari cara untuk protes akibat para anak mereka yang hilang. Terdengar kabar, anak mereka diculik, disiksa dan dibunuh oleh rezim militer yang tengah berkuasa akibat aktivitas politik yang beroposisi.
Mereka pun memilih tempat protes di Plaza de Mayo. Ini sebuah lokasi yang yang historik. Dalam sejarah Argentina, lokasi ini acapkali menjadi tempat pertemuan politik. Para ibu memutuskan demo di seberang istana penguasa. Aksipun dipilih Kamis sore hari.
Tak diduga, pelan pelan begitu banyak para ibu yang bergabung. Mereka mendata ada sekitar 3000 anak mereka yang hilang paksa karena oposisi politik.
Pada tahun yang sama, di bulan Desember, delapan bulan kemudian, bahkan Azucena Vilaflor sendiri hilang. Isu beredar iapun diculik paksa dan dibunuh rezim militer yang berkuasa.
Teman temannya sibuk mencari. Dimanakah bersembunyi atau disembunyikannya Vilaflor, inspirator mereka.
Sekitar 26 tahun kemudian, di tahun 2003, Team Forensik Argentina dari rezim baru mengidentifikasi lima tubuh wanita yang sudah tak berbentuk. Tubuh itu dapat dikenali mengalami kekerasan yang sangat sebelum mati. Satu dari tubuh itu adalah Azucena Vilaflor.
Untuk anaknya yang hilang, Vilaflor mengambil resiko nyawapun hilang. Tapi air matanya ikut membawa Argentina memasuki era baru: demokrasi. Dan gerakan para ibu yang ia awali ikut menginspirasi dunia.
Lama saya merenung dan terdiam membaca kisah ini. Saya ingat di tahun itu, di tahun 1997, ketika membayangkan Vilaflor saya teringat ibu saya sendiri. Saya membayangkan jika saya yang hilang, dan ibu sayapun mencari saya hingga ia dibunuh. Sore itu, di taman itu, air mata saya menetes.
Hari itu, sore itu, di taman itu, di tahun 1997, saya niatkan akan menulis sesuatu soal mencari keluarga yang hilang akibat politik. Tapi saat itu saya belum tahu, kapan, dan dalam bentuk apa. Yang ada baru janji pada diri sendiri dan gelora yang terus tersimpan.