SERUJI.CO.ID – Beberapa penumpang Bule di pesawat mengenakan batik atau T-Shirt khas Nusantara, salah satunya bertuliskan “Globalization without Bali is Impossible!”. Meski penerbangan kelas ekonomi, mereka di-service dengan baik sekali oleh para pramugari dan pramugara yang serba ramah. Segera setelah pesawat berada di ketinggian awan, minuman ringan bersama snack-pun ditawarkan. Lawe menjatuhkan pilihan pada jus jambu biji untuk mengusir dahaganya sementara Ahmad nampak sangat menikmati pilihan hot coffee-nya. Anak-anak diberikan mainan puzzle gratis. Lawe dan Ahmad nampak larut dalam obrolan di dalam pesawat, seperti dialog Utara-Selatan yang seru.

Menu utama makan malam yang dipilih oleh Ahmad dan Lawe saat pesawat sedang taxi adalah fried chicken with hoisin, Star Anise sauce, vegetables dengan Crabmeat cucumber corn salad with lemon Wedge halal sebagai pelengkap steam rice hangat dalam kemasan aluminium foil. Tak hanya itu, cake Mousse Chocolate, Bread and Butter, Cheese and Crackers, serta ice cream satu persatu dikeluarkan oleh pramugari untuk penumpang dengan nampan dan alat makan lengkap, selain juga minuman ringan tambahan.

Para penumpang dengan menyentuh layar, bebas memilih tayangan film box office, video lucu, film dokumenter, tayangan tujuan wisata lokal dan Internasional, menikmati aneka musik Nusantara dan Barat, games, serta info perjalanan Garuda. Sambil membenarkan posisi bantal kecil di punggungnya, menutup mata dengan alat menyerupai kacamata dari kain hitam, memasang selimut serta headset setelah mengatur posisi sandaran tempat duduk agak ke belakang, Lawe mantab dengan pilihan lagu-lagu Maher Zain, Rhoma Irama dan Frank Sinatra untuk menjemput mimpi-mimpinya.

Sementara satu-persatu para penumpang tertidur, Ahmad mulai larut dalam komputer tablet-nya membuka file e-book hasil penelitian Dr. Spilet tentang perjalanan orang-orang Bugis dan Makassar ke Australia di masa lalu. Dari abad ke-17 sampai tahun 1907, mereka setiap tahun mengunjungi semenanjung utara benua Australia yang mereka sebut Marege. Perjalanan mereka itu disponsori oleh orang Makassar, China atau Belanda. Pada bulan Desember di saat awal musim angin utara, Padewakang-Padewakang mereka berlayar selama 26 hari ke selatan menuju Arnhem Land itu. Dengan membaca formasi bintang-bintang Southern Cross sebagai penunjuk arah pelayaran, punggawa perahu dengan belasan anak buah dalam setiap Padewakang melewati jalur Makassar-Laut Banda-Pulau Timor-terus ke selatan sampai Marege.

Berbeda dengan kapal Phinisi yang melegenda, dua bilah kemudi (ruder) Padewakang mereka sengaja dibuat tetap tidak untuk berbelak-belok demi perjalanan ribuan kilometer jauhnya. Berbahan kayu ba’do[1] Padewakang dibuat hanya dengan pasak kayu. Penggeraknya adalah angin Moonson yang ditangkap dengan layar dari anyaman daun Rumbia yang diikatkan pada tiang tripod dari bambu Wulung. Ahmad semakin larut dalam imajinasi pelayaran diaspora orang-orang Nusantara ke Australia berabad lalu itu. Tanpa penelitian DR. Spillet, sejarah itu tak akan terkuak ke khalayak, batinnya.

Di 96 titik di Arnhem Land seperti di Yirkalla, Gove, Port Essington, Maningrida, Millingimbi, pulau Kiwi dan Giliwinku di pulau Elcho para Daeng itu mengeluarkan Lepa-Lepa, kano dari kayu yang ditatah, untuk mendarat. Orang-orang Aborigin dengan olesan warna-warni pewarna di tubuh akan menyambutnya sepenuh hati dengan tari-tarian bertenaga kepada orang-orang seberang lautan yang sering mengunjungi peradaban tua mereka. “Ah, mainmark Macassara, yappa[2]!, demikian hangat sapa orang-orang Aborigin itu. Musik yidoki[3] dan ketukan dua bilah kayu, bilmark, menjadi media keakraban itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama