Suasana tenang dan damai tak berlangsung lama dirasakan Sulaeman Patipi. Badai pemikiran mulai datang menciptakan gelombang tinggi dari empat penjuru mata angin yang mengguncang kapal pendiriannya. Kapitalisme dari Barat, Komunisme dari Timur, dan Sosial Demokrat dari Utara, dan isme-isme lainnya. Perasaannya persis perahu boat ditengah badai setinggi tiga meter. Kakinya memang menjejak perahu, namun guncangan-guncangan ombak itu membuatnya pusing. Jika ia tak sanggup menghadapi guncangan pemikiran akan bernasib seperti sebuah kapal yang pecah berantakan. Bahkan setelah di daratpun, bisa jadi seseorang yang mabuk laut akan menderita “vertigo pemikiran”, merasakan pandangan berputar-putar karena merasa seperti masih terombang-ambing badai pemikiran yang dahsyat.
Penyebabnya utama turbulensi pemikiran yang dihadapinya adalah provokasi kekuatan asing terhadap kesatuan negerinya, Nusantara. kenapa, batin Sulaeman, Pers asing selalu mengangkat permasalahan Papua, dalam hal kecil maupun besar seperti sebuah upaya internasionalisasi permasalahan dalam negeri Nusantara. Padahal pers Nusantara pun tak pernah menyoroti permasalahan yang menjadi urusan domestik negara lain. Ada permasalahan-permasalahan HAM dan kekecewaan-kekecewaan, namun tidak seharusnya di-internasionalisasi permasalahan domestik itu. Bukankah negara anggota Dewan Keamanan PBB seperti Inggris memiliki masalah dengan Irlandia Utara, demikian pula China memiliki permasalahan Tibet dan Xinjiang.
Sulaeman Pattipi sadar, lepasnya Timor-Timor dari Nusantara tidak serta merta membuat bekas koloni Portugis berubah menjadi negeri sejahtera. Memanfaatkan posisi lemah negeri muda itu di meja perundingan, konsesi minyak Celah Timor diperebutkan oleh negara penyeponsor kemerdekaan dan bahkan mendatangkan “kutukan minyak”. Melihat negeri-negeri di Pasifik, mereka juga hanya berdaulat diatas kertas, dengan penduduk paling obesitas di dunia, namun kekayaan alamnya diserahkan kepada perusahaan multinasional asing. Merujuk pada negeri di sebelah timur Irian Jaya, Papua New Guinea, kondisi ekonomi dan politiknya juga tidak lebih baik. Seringnya terjadi kudeta dan pemberontakan mengundang intervensi asing yang sebenarnya lebih mengincar konsesi kekayaan alamnya.
Padahal negeri seperti Australia juga masih menyisakan masalah dengan bangsa Aborigin, yang merasa diambil tanahnya dan dijajah oleh orang Eropa. Sulaeman pernah menyaksikan protes Bangsa Aborigin di Old Parliament House, mengusung kata; S O V E R E I G N T Y. Orang-orang berkulit hitam Aborigin itu telah mengalami pembantaian, penghilangan paksa, dianggap binatang semata seperti ditunjukkan oleh berbagai foto lawas tentang leher-leher Aborigin yang dirantai, hingga harus diadabkan dengan cara mengambil paksa anak-anak mereka untuk dibesarkan dengan cara Eropa.
Padahal dibandingkan nasib Bangsa Aborigin, suku-suku Papua masih jauh lebih memperoleh hak-hak politiknya. Otonomi Khusus yang digulirkan telah menyalurkan dana puluhan trilyun rupiah kepada tanah kelahirannya itu. Juga melalui produk hukum itu diatur kepemimpinan daerah harus dipegang oleh orang Papua asli, sehingga berfikir merdeka adalah sebuah kesalahan. Jika dibandingkan dengan orang Aborigin, hanya segelintir orang Aborigin yang bisa berada di pemerintahan Australia, baik pemerintah lokal maupun Federal, atau memiliki wakil di dalam parlemen. Bahkan sebelum permintaan maaf resmi di Parlemen atas stolen generation yang menimpa Bangsa Aborigin, perlu perjuangan ekstra keras Partai Buruh yang dipimpin oleh Kevin Rudd melawan pendapat oposisi.
Ia sadar, hanya melalui pembangunan SDM dan pengelolaan bagi hasil kekayaan alam Papua yang adil yang akan memperbaiki keadaan di Papua. Penyelesaian pelanggaran HAM dan perbaikannya juga harus menjadi prioritas untuk mendorong dialog yang konstruktif. Sulaeman Patipi geram dengan upaya-upaya sebagian kalangan dengan provokasi asing memperjuangkan Papua lepas dari Negara Kesatuan Nusantara. Padahal, New York Agreement telah melahirkan Resolusi PBB 1752/XVII Tahun 1962 tentang pengakuan Papua sebagai bagian dari Nusantara. Lebih heran lagi, Amerika Serikat yang mengambil emas Papua melalui Freeport, namun Nusantara yang selalu disalahkan. Sulaeman sadar, seharusnya nama kota di Timika yang dikuasai perusahaan tambang asing Freeport adalah Emaspura, bukannya Tembagapura.
Sulaeman seperti sedang mimpi buruk saat mengetahui ditengah suasana hiruk-pikuk gejolak sosial politik keamanan Papua itu ribuan peralatan berat yang sebesar gedung Balai Desa sedang bekerja mengeruk gunung emas untuk dikapalkan ke negeri manca oleh perusahaan multinasional asing. Kenyataan itu tidak hanya terjadi di Esbergh dan Grasberg Papua, tapi juga Newmont di Nusa Tenggara Barat, dimana korporasi asing itu bekerja berdasarkan Kontrak Karya yang timpang (G to B). Kepemilikan saham negara Nusantara hanyalah minoritas belaka, sehingga tidak mempengaruhi pengambilan keputusan korporasi.
Di Canberra, pemikiran tentang globalisasi dan liberalisasi ekonomi begitu membanjir deras, memenuhi atmosfir ruang-ruang kelas dan silabus perkuliahan. Sebelumnya Sulaeman Pattipi telah membaca dari buku sejarah, aliran-aliran politik besar yang membanjiri ibu pertiwi, karena pengaruh pemikiran dunia yang turut mewarnai pergolakan pemikiran negara muda, Nusantara. Nasionalisme berawal dari rasa kebangsaan yang tumbuh karena penderitaan akibat penjajahan bangsa asing, sementara sosialisme menginginkan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sedangkan pemikiran Islamisme yang lebih lama merasuki menginginkan kesejahteraan lahir batin rakyat Nusantara dengan didasarkan hukum-hukum Allah SWT, satu-satunya Tuhan yang layak disembah.
Nusantara modern didirikan karena sihir Nasionalisme yang dibawa oleh para founding fathers melalui proses yang penuh perjuangan darah dan air mata. Ada begitu banyak tantangan, pergumulan pemikiran, konfrontasi dan kompromi, hingga segenap komponen bangsa, struktur politik lama, para sultan dan raja, baik besar atau kecil wilayah kekuasaannya, bersatu dalam sebuah wadah negara Republik. Semua hanyut dalam gelombang besar revolusi yang mendamba sebuah negara merdeka, melepaskan rantai devide et impera yang dipasangkan oleh penjajah, pasca perang dunia kedua di bekas wilayah jajahan Belanda, termasuk tanah Nuuwar, atau Irian Jaya atau Papua.
Idealitas sistem politik lama berupa negara bangsa dengan batas-batas geografis di jaman globalisasi segera menjadi usang. Amerika atau Australia yang kapitalis menerapkan sistem jaminan sosial bagi rakyatnya, sementara China yang komunis menciptakan kantong-kantong kapitalisme di zona-zona khususnya. Pendulum sistem ekonomi dunia bergeser menuju ke tengah mirip sistem ekonomi islam yang menghargai kepemilikan pribadi, dengan peran negara melakukan pemerataan melalui sistem zakat dan pajak.
Bersambung ……..