“Negeri bahagia di Pasifik mirip Skandinavia adalah New Zealand yang memiliki pemandangan eksotis dengan mata air dan udara yang segar tanpa polusi, padang rumput menghijau dengan peternakan sapi dan biri-biri. Di Benua Afrika terdapat negeri Afrika Selatan yang memiliki karakteristik alam mirip New Zealand. Negeri di Benua Amerika yang bahagia adalah Costa Rica yang sangat eco-friendly dan rakyatnya memiliki jaringan kekerabatan yang erat dan sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Di Asia terdapat Brunei Darussalam, sebuah negeri super kaya dipimpin sebuah Kesultanan dengan istana dan masjid yang sangat megah serta memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Posisi Amerika Serikat yang memiliki American Dream menurut survey ini hanya berada di urutan ke-23 dibawah negeri-negeri bahagia diatas, meskipun memiliki tingkat GDP dan pendapatan per-kapita yang jauh lebih tinggi”, tambahnya panjang lebar.
“Harus kita akui, tidak ada ukuran seragam untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dunia saat ini. Ukuran-ukuran alternatif seperti GNH merupakan perkembangan baru yang bisa jadi akan menjadi alat ukur utama di Abad Asia beberapa tahun kedepan”, tambahnya menutup perkuliahan.
“……..Jadi benarkah Ngultrum tidak bisa membeli kebahagiaan orang Bhutan”, batin Sulaeman Patipi. Tapi kenapa sepengetahuan Sulaeman Patipi orang-orang Bhutan di Canberra bekerja ekstra keras demi Dollar dan mengirimkannya ke negerinya yang miskin dalam ukuran GDP? Mungkin jawabannya adalah keseimbangan antara materi dan spiritual itu yang lebih penting. Tujuan syariah menurut al Ghazali adalah mendorong kesejahteraan manusia dengan lima ukuran, yaitu perlindungan kepada agama (din), jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia, sebuah kriteria ukuran kesejahteraan sebuah negeri yang mungkin saja suatu saat akan melengkapi GNH dan menggantikan dominasi GDP. Sebagaimana dulu popularitas teori Emotional Quotience (EQ) mengalahkan teori IQ untuk mengukur modal bagi kesuksesan seseorang, kemudian muncul buku-buku Emotional Spiritual Quotience (ESQ) sebagai revisi, dan seterusnya untuk mencari konsep yang paling optimal. Bukankah doa seorang muslim adalah, Rabbanaa aattina fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzabannar, batin Sulaeman Patipi merenungkan. Adakah pemimpin orisinil Nusantara yang tersimpan dalam hatinya keinginan untuk membahagiakan rakyatnya dengan menaikkan tingkat Gross National Happiness (GNH), disamping menaikkan Human Development Index (HDI) negerinya yang pada tahun 2008 terpuruk pada peringkat 109 negara-negara di dunia.
@@@
Sulaeman Patipi adalah seorang Papua muslim. Ia masih keturunan raja Patipi, kerajaan yang mendapat pengaruh kekuasaan kesultanan islam dari jazirah al Mulk, Maluku. Sebuah manuskrip kuno tulisan tangan berhuruf Arab berupa mushaf al Quran dari tahun 1214 terbuat dari kulit kayu ada di tanah leluhurnya, Fak Fak. Empat manuskrip lainnya yang salah satunya bersampul kulit rusa, berisi kitab hadits, kitab tauhid dan kumpulan doa-doa. Ada pula manuskrip islam tulisan tangan diatas daun koba-koba yang disimpan dalam buluh bambu. Seorang Syeh bernama Iskandar Syah dari Kerajaan Samudera Pasai di tanah Aceh dalam sebuah ekspedisi dakwah ke timur membawa islam ke tanah Papua. Penduduk Papua sejak abad ke XV sudah tidak asing dengan ajaran islam, setidaknya yang tinggal di pesisir pantai.
Pun sebuah Masjid tua bernama Patimburak di pinggiran teluk Kokas, Fak Fak, adalah saksi lain sejarah islam di Nuu War itu. Arsitektur Masjid tua yang dibangun atas perintah Raja Wertuer I tahun 1872 itu sekilas seperti gereja Eropa. Islam dan kristen memang telah lama hidup berdampingan secara damai di tanah Papua. Sejarah mencatat muslim Kerajaan Salawati bernama Muhammad Aminuddin Arfan pada 5 Februari 1855 ditugasi oleh kerajaan Tidore untuk mengantarkan misionaris Kristen CW. Ottow dan Geissler ke tanah Papua, saat masih banyak suku Papua pedalaman yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Sebuah wilayah bernama Raja Ampat adalah bukti lain eksistensi empat kerajaan islam dari Maluku yang pernah berkuasa di timur Nusantara, yaitu kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Muslim asli Papua ada di Megapura, Kurulu, Kelila, Bakondidi, Karabuga, Tiom, Makki, Kurima, Assologima, Oksibil, Okbibab, Kiwirok, Kota Wamena, Manokwari, Merauke, Kaimana, Sorong, Timika, Biak Numfor, Jayapura dan di seluruh kabupaten dan Kota di Papua. Saat ini dari sepuluh orang penduduk Papua, empat diantaranya adalah muslim, baik asli maupun pendatang. Sementara selebihnya adalah mayoritas Kristen Protestan dan Katholik, serta Hindu dan Budha.
Tahun 1940-an saat Papua masih dijajah Belanda, Kakek Sulaeman Patipi pindah ke Desa Walesi, di sebuah cekungan mangkuk lembah Baliem. Di honai kakeknya masih terpajang foto usang yang diambil sebelum Penentuan Pendapat Rakyat, para kepala suku Papua berdiri berfoto bersama Bung Karno. Kakeknya adalah saksi peristiwa perobekan bendera Belanda menjadi merah putih oleh penduduk Papua, sesaat setelah Bung Karno memerintahkan pembebasan Irian Jaya dari Belanda. Di masa-masa itu, orang-orang Papua mulai mengenal nasionalisme Nusantara, termasuk syair “Dari Sabang Sampai Merauke”. Bahwa wilayah Nusantara yang pertama kali mengumandangkan azan subuh dan melihat Matahari terbit di pagi hari adalah Nuu War, yang memang berarti cahaya nan eksotik.
Dari cerita papanya, Sulaeman mengetahui kisah kehebohan seorang kepala suku di kampungnya yang memeluk Islam pada 26 Mei 1978. Saking bersemangatnya, sepulang dari ibadah haji tahun 1985, sang “kepala suku perang” bernama Aipon Asso merayakannya dengan menari dan berlari mengitari Kota Wamena, diiringi oleh 600 pengikutnya yang mengenakan koteka. Saat Sulaeman kecil, ia melihat sendiri orang-orang Papua bergotong-royong membawa kubah masjid dengan perahu menuju pedalaman. Para mubaligh berdatangan, diantaranya orang-orang asli Papua, membawa ajaran tauhid, budaya pakaian, kebiasaan mandi memakai sabun, dan pendidikan pesantren. Islam mengajarkan kebersihan, kesucian dan menutup aurat, sesuatu yang berabad lamanya jauh dari budaya suku-suku pedalaman Papua.
Kepingan peta dunia beringsut semakin menyatu, mempertemukan manusia dengan berbagai macam pemikiran kedalam global village. Sebuah perubahan menjadi komunitas mondial yang didorong oleh perdagangan internasional dan perkembangan cyberspace, meluruhkan konsep negara bangsa dan ikatan-ikatan kesukuan lama. Kekhawatiran yang berlebihan melalui respon penolakan hanya akan membuat manusia ketinggalan gerbong kemajuan ini. Sparatisme yang didasarkan pada pembatasan wilayah dan bahkan kesukuan hanyalah akan menciptakan kelucuan yang tak perlu. Sparatisme dan pemberontakan adalah sebuah anomali ditengah arus besar menuju pemerintahan global semacam Uni-Eropa, Khilafah Internasional serta organisasi internasional semacam APEC, WTO dan ASEAN.
@@@

Bersambung……

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama