Acton Theatre menjadi saksi perkuliahan pertama Sulaeman Patipi di kelas Internasional. Ruangan itu berada di ujung pintu masuk gedung Crawford School yang sore itu dipenuhi oleh 70 mahasiswa di kelas Development Theories and Themes. Mereka duduk di belakang dua buah meja panjang melengkung mirip bumerang Aborigin di lantai berundak, sambil mendengarkan sebuah presentasi.
“Hubungan uang dan kebahagiaan ternyata kecil saja”, demikian Sonam memulai presentasinya tentang konsep Gross National Happiness.
“Mungkin awalnya uang akan membuat ledakan-ledakan reaksi kimia di simpul-simpul syaraf manusia yang menandakan kebahagiaan. Namun ketika uang itu habis, otak akan kembali berfikir keras bagaimana untuk mendapatkannya lagi, yang tentu saja bukan sebuah kondisi bahagia”, sambungnya di belakang meja dengan sesungging senyuman. Sebuah meja lemari panjang dengan monitor LED tipis berada di depan Sonam berdiri, dimana papan tulis serta layar lebar portabel di belakangnya siap menerima sorotan in focus dari langit-langit. Langit-langit Acton Theatre yang berwarna putih gading sengaja didesain berbentuk tiga buah bulatan berlapis-lapis dengan panel lampu-lampu tertanam, dari bawah persis sebuah pesawat UFO. Dibawah sinaran tak menyilaukan itu perkuliahan berlangsung hangat.
“Hasil sebuah survey yang dilakukan Illinois University mengkonfirmasi bahwa tingkat kebahagiaan orang-orang super kaya penghuni Forbes 400 hanya setara dengan tingkat kebahagiaan suku-suku penggembala Maasai di Afrika Timur. Hal itu menjelaskan rasa nikmat yang terus berkurang setelah manusia mengkonsumsi makanan lezat di piring kedua dan seterusnya bahkan berubah menjadi rasa muak karena perut tak mampu lagi menerimanya”, cerocosnya yang ditingkahi kernyit di dahi beberapa mahasiswa Bule Eropa Timur dan China.
Kali ini Sonam bergerak mendekati para mahasiswa dengan bantuan alat perekam wireless yang terhubung dengan loudspeaker di pojok-pojok atas ruangan, sekaligus memungkinkan presentasinya diunggah ke website kampus.
“Tidak jauh-jauh, Radio Australia pernah menyiarkan hasil sebuah survey di Australia yang menunjukkan bahwa kebahagiaan ternyata tidak berbanding lurus dengan kekayaan materi. “Menurut survey yang dilakukan oleh Deakin University, kelas menengah di kota Sidney adalah warga yang paling menderita di Australia, sementara salah satu daerah termiskin di Australia yaitu Wide Bay di pedalaman Queensland ternyata penduduknya termasuk paling bahagia”, sambung Sonam yang membuat kernyit dahi para mahasiswa bertambah kusut.
“Mereka yang bahagia itu berada pada identitas demografi kategori usia 55 tahun keatas, lebih banyak perempuan, dan mereka yang sudah menikah”, tambahnya penuh keyakinan. Lalu ia menambahkan, “Negeri seperti Australia, China, Thailand, dan Inggris menyandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan Index Gross National Happiness (GNH) untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyatnya”.
Diskusi mengalir dengan menarik slide demi slide sambil beberapa kali diselingi pertanyaan dan adu argumentasi…………..
“Siapa penemu konsep KNB ini dan bagaimana pengembangan selanjutnya. Apa keunggulannya dibandingkan GDP yang telah kita kenal selama ini?”, tanya Barbara dari Hungaria.
“Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB) pertama kali dicetuskan oleh Raja kami bernama Jigme Singye Wangchuck pada tahun 1972. Konsep pengukuran kuantitatif kebahagiaan dan kesejahteraan yang berakar dari nilai spiritual Budha ini kemudian disusun lebih lanjut oleh Med Jones pada 2006 ke dalam matriks pembangunan sosio-ekonomis. Empat pilar kebahagiaan Nasional Bruto Bhutan adalah; Promisi perkembangan yang berkelanjutan, pelestarian dan promosi nilai-nilai kebudayaan, konservasi lingkungan, serta pembentukan pemerintahan yang baik. Sedangkan delapan kontributor kebahagiaan diantaranya adalah; fisik, kesehatan mental dan spiritual, keseimbangan waktu, vitalitas sosial dan masyarakat, vitalitas budaya, pendidikan, standar hidup, pemerintahan yang baik dan vitalitas ekologi”, jawab Sonam penuh semangat.
“Ukuran Gross National Happiness (GNH) merupakan alternatif dari PDB yang sangat materialistik dan kapitalistik. Ukuran ini mengakui unpaid domestic work atau unpriced ecosystem services sebagai bagian pendorong tercapainya kesejahteraan. Model kami ini sangat menekankan pada keseimbangan capaian spiritual dan material, konsern terhadap perlindungan lingkungan hidup, serta menjaga nilai-nilai kebudayaan tradisional diatas capaian perkembangan ekonomi. Ukurannya diantaranya adalah kesehatan ekonomi, kesehatan lingkungan, kesehatan fisik, kesehatan mental, kesehatan tempat kerja, kesehatan sosial dan kesehatan politik. Kerajaan kami melarang rokok di seluruh negeri, melarang impor kantong plastik, menyuruh penduduknya menanam sepuluh pohon setiap tahunnya, serta tidak menggunakan pupuk kimia untuk pertanian. Di negeri kami layanan kesehatan dan pendidikan diberikan secara gratis oleh kerajaan”, tambah Sonam sambil melirik beberapa kawan Bhutan-nya seakan meminta konvirmasi.
“Jadi bagaimana negeri Bhutan mendapatkan pemasukan ekonomi kalau terdapat banyak pembatasan-pembatasan karena alasan budaya dan ekologi?”, tanya John dari Inggris.
“Kami memiliki pembangkit-pembangkit listrik yang digerakkan oleh hidropower dari lelehan salju yang listriknya kami jual ke India. Jadi kami sangat konsern dengan energi terbarukan dalam mencari sumber listrik. Kami juga memiliki paket wisata puncak gunung dan kuil-kuil Budha yang eksotis, meskipun tetap tidak kami obral begitu saja”, jawab Tsering mencoba membantu Sonam.
Dosen mata kuliah Development Theories and Themes yang terkenal eksentrik dengan penampilan rambutnya yang seperti filosof memuji presentasi Sonam. Ia melanjutkan pemaparan itu dengan menambahkan uraian dari beberapa literatur, “Seorang psikolog sosial analitik Universitas Leicester bernama Adrian White mengembangkan “World Map of Happiness”. Dengan ukuran-ukuran itu, pada tahun 2006 Bhutan menempati peringkat delapan negara paling bahagia di dunia, jauh lebih tinggi dari Amerika Serikat. Negeri-negeri Skandinavia ternyata juga mendapatkan skor tertinggi dalam ukuran kebahagiaan penduduknya. Mungkin kuncinya negeri-negeri Denmark, Swedia, Swiss, dan Austria berpenduduk kecil, sehingga lalu lintas berjalan lancar tanpa banyak bunyi klakson, membentang suasana damai dari tanah-tanah pertanian hijau dengan hasil gandum, telur, dan keju. Saya pernah kesana beberapa tahun yang lalu, saya lihat banyak kincir angin penghasil listrik tanpa polusi”, terang Howard Mcintyre itu lebih lanjut.
“Swiss dengan bank-bank internasionalnya berabad lamanya mempertahankan netralitas di kawasan Eropa. Negeri-negeri itu seperti negeri dongeng dalam lukisan yang mengundang para wisatawan dari seluruh dunia. Tingkat korupsi negeri-negeri itu juga sangat rendah dimana pemerintah menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan gratis berkualitas, serta jaminan hari tua. Untuk semua layanan itu rakyatnya bersedia membayarkan sekitar 70% penghasilannya melalui pajak yang dikenal dengan model negeri sosial demokrat”, imbuh dosen sepuh itu dengan sopan.

Bersambung …..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama