JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Belum lama berselang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendatangi sebuah gedung yang dahulu dikenal sebagai Hotel Alexis yang dicurigai menjadi tempat prostitusi sehingga dianggap mengotori ibu kota negara tersebut.
Yang sangat menonjol dari kedatangan Satpol PP ini adalah dikirimnya beberapa petugas wanita yang mengenakan jilbab atau hijab sehingga petugas keamanan atau centeng di sana tak berkutik untuk menghalangi kedatangan petugas-petugas negara tersebut.
Sebelumnya, dalam berbagai demonstrasi di Jakarta, Kepolisian Republik Indonesia mengerahkan Polisi Wanita alias Polwan yang sebagian juga memakai hijab untuk ikut menenangkan atau mengendalikan unjuk rasa yang diperkirakan bakal berlangsung hangat dan keputusan itu sangat jitu sehingga para pengunjuk rasa pun merasa harus berhati-hati dalam bertindak.
Selama beberapa tahun terakhir ini begitu banyak gadis apalagi ibu-ibu yang membiasakan diri memakai hijab jika ingin kuliah, bekerja atau melakukan berbagai kegiatan lainnya. Padahal puluhan tahun lalu, banyak Muslimah yang merasa ragu-ragu atau bahkan takut untuk berjilbab dalam kehidupan sehari-hari karena khawatir dikira dari kelompok “aliran keras”.
Pemakaiaan hijab itu sama sekali tidak mengurangi kecantikan mereka, bahkan wanita-wanita itu nampak kelihatan semakin menarik alias memesona dan juga sekaligus mencerminkan banyaknya Muslimah yang kian menekuni kei-Islaman-nya.
Akan tetapi suasana yang begitu menenangkan itu, beberapa hari lalu dirusak oleh pernyataan seorang wanita yang dikenal masyarakat dengan nama Sukmawati Soekarnoputri, putri Proklamator Bung Karno dengan Ibu Fatmawati yang namanya tak ternoda oleh hal apa pun juga. Wanita di seluruh Tanah Air pasti mengenang Ibu Fatmawati sebagai seorang Ibu Negara yang rendah hati.
Sukmawati yang mengaku-ngaku dirinya sebagai seorang budayawati sedang membacakan sebuah puisi dalam sebuah acara. Budayawan atau budayawati mana pun juga praktis tak pernah dihujat saat membacakan puisi, deklamasi atau apa pun istilahnya.
Namun yang terjadi adalah Sukmawati membacakan puisi yang didalamnya membandingkan beberapa hal dengan hal-hal yang menjadi prinsip dasar atau pegangan kaum Muslimah seperti konde dengan perlengkapan yang amat lazim digunakan para wanita Muslimah tersebut.
Sekalipun mengaku bahwa dirinya tidak mengerti hukum-hukum Islam atau syariah/syariat, omongan tak pantas Sukma langsung diprotes oleh begitu banyak ummat Islam misalnya yang terjadi di Jakarta dan Palembang. Bahkan banyak pendemo yang menuntut agar Sukma dibawa ke pengadilan.
Karena merasa tersudut, maka kemudian Sukma mendatangi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Haji Ma’ruf Amin untuk minta perlindungan. Dia meminta “maaf” kepada Ummat Islam sambil “menangis”. Akibatnya Kiai Ma’ruf Amin mengimbau Ummat Islam untuk memaafkan atau mengampuni putri Sang Proklamator tersebut. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin juga melakukan hal yang sama.
Bahkan ada seorang tokoh yang menyatakan bahwa seorang seniman atau budayawan/budayawati boleh “bebas” mengekspresikan pikirannya.
Yang menjadi pertanyaan mendasar bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah Muslim dan Muslimah adalah patutkah mereka memaafkan Sukmawati? Warga Jakarta dan bahkan di seluruh Tanah Air pasti tidak akan pernah melupakan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang harus “tergusur” dari posissinya sebagai gubernur Jakarta karena dengan seenaknya sendiri mengutip atau menafsirkan Surat Al Maidah yang merupakan salah satu surat dalam kitab suci Al Quran.
Sebagai seorang non-muslim, dengan tidak sepantasnya Ahok berkomentar.
Sekalipun dia mengaku atau mengklaim bahwa ada anggota keluarganya yang beragama Islam dan menyatakan bahwa pidatonya di Pulau Seribu itu tak menimbulkan protes dari yang datang, akhirnya tetap saja Ahok harus merasakan akibatnya sehingga dia dibawa ke meja hijau dan akhirnya harus “dipenjara” di sebuah markas Brimob/kepolisian di Jakarta.
Yang patut dipertanyakan kepada Sukmawati adalah maukah dia “mengikuti” jejak Ahok untuk “disel atau dipenjara” selama bertahun-tahun? Kiai Ma’ruf Amin atau Menteri Agama berkenan membela Sukmawati pasti karena dia adalah anak Sang Proklamator dan bukan akibat faktor-faktor lainnya. Coba kalau kasus ini menimpa misalnya seorang gelandangan atau tukang cuci pakaian sudikah atau maukah Ma’ruf Amin dan Lukman Hakim melakukan pembelaan?
Poisi ini… BENING?