JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Rahmat Triyono mengungkap kronologi terjadinya tsunami di Selat Sunda yang melanda pesisir pantai Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12) malam.
“Pada Jumat (21/12) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mendeteksi adanya aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) di Lampung,” kata Rahmat dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (31/12).
Dengan tinggi kolom abu teramati kurang lebih 400 meter di atas puncak dan 738 meter di atas permukaan laut, kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah utara, dan pada saat itu GAK berada pada status level II (waspada).
“Sebelumnya, kami telah memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku tanggal 22 Desember 2018 pukul 07.00 WIB hingga 25 Desember 2018 pukul 07.00 WIB di wilayah perairan Selat Sunda dengan ketinggian 1,5-2,5 meter,” ujar Rahmat.
Kemudian, pada Sabtu (22/12) pukul 20.56 WIB terjadi erupsi GAK yang memicu longsor lereng gunung seluas 64 hektare.
Baca juga:Â BMKG: Longsor Gunung Anak Krakatau Picu Tsunami Selat Sunda
Kemudian, pada pukul 21.03 WIB tercatat di sensor seismograf BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJ) dan beberapa sensor di wilayah Banten serta Lampung.
Namun sistem proses otomatis gempa BMKG tidak memroses secara otomatis karena sinyal getaran yang tercatat bukan merupakan sinyal gempa bumi tektonik.
“Sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki BMKG saat ini hanya untuk tsunami yang disebabkan gempa bumi tektonik, sedangkan tsunami yang melanda Selat Sunda adalah akibat aktivitas vulkanik sehingga saat ada aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau, sistem peringatan dini tsunami tidak mampu memroses secara otomatis adanya aktivitas vulkanik sehingga tidak memberikan warning tsunami,” terangnya.
Di samping itu, katanya, BMKG tidak melakukan monitoring aktivitas GAK dan gunung api lainnya. Monitoring dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementerian ESDM.
Lalu, pada pukul 21.30 WIB petugas Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG mendapat laporan kepanikan masyarakat di wilayah Banten dan Lampung karena air laut pasang yang tidak normal. BMKG langsung melakukan ‘checking marigram tide gauge’ Badan Informasi Geospasial (BIG).
Baca juga:Â BNPB Ungkap Penyebab Tsunami Selat Sunda Tak Terdeteksi Sehingga Banyak Korban Jiwa
Dari hasil pengecekan tersebut, terindikasi tercatat perubahan permukaan air laut di beberapa wilayah seperti di Pantai Jambu, Bulakan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian air mencapai 0,9 meter.
Di Pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan Banten tercatat pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0.35 meter, di Kota Agung Kecamatan, Kota Agung, Lampung tercatat pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0.36 meter, dan di Pelabuhan panjang Kecamatan Kota Bandar Lampung tercatat pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0.28 meter.
Melihat dari hasil catatan ‘marigram tide gauge’ BIG tersebut diyakini bahwa ini merupakan gelombang tsunami. Selanjutnya, pada pukul 22.30 WIB, BMKG segera mengeluarkan pernyataan media telah terjadi tsunami melanda Banten dan Lampung tidak dipicu oleh Gempa bumi tektonik.
“Pada Ahad (23/12) pukul 14.40 WIB BMKG memastikan bahwa pusat getaran ada di GAK, 115,46 bujur timut (BT)- 6.10 lintang selatan (LS), kedalaman 1 km. Getaran tersebut setara dengan kekuatan magnitudo 3,4 Skala Richter (SR),” pungkasnya. (Ant/SU05)