SERUJI.CO.ID – Yang asyik dari pemilu presiden 2019 ini, bukan hanya para capres dan wapres berdebat. Tapi lembaga survei pun punya momen untuk berdebat. Bedanya capres dan cawapres berdebat soal program. Tapi lembaga survei berdebat soal sisi keilmuan.
Sayapun tersenyum senang menerima tulisan bantahan Bambang Setiawan (pihak resmi Kompas?), atas dua tulisan saya atas survei Kompas. Saya mengira tadinya akan berdebat semata soal angka. Ternyata lebih jauh lagi, perdebatan masuk kepada perkara filsafat ilmu.
Namun saya mulai dulu merespon bunga-bunga tulisan Bambang Setiawan itu. Ia mengingatkan betapa di masa awal, Kompas menyediakan forum bagi saya teman teman pemikir dan penulis muda di tahun 80an. Forum Indonesia Muda yang saya pimpin saat itu, yang difasilitasi Kompas, Paramadina dan LP3ES sungguh ikut menumbuhkan gairah intelektual para aktivis dan penulis muda.
Tak disunggung, tapi saya tambahkan saja. Kompas pun berjasa pada saya, memberi ruang saya untuk menulis sejak saya masih mahasiswa. Betapa itu momen yang ikut membentuk tradisi keilmuan bagi saya pribadi. Ketika usia mahasiswa, yang masih bau kencur, saya sudah berpolemik dengan Sutan Takdir Alisyahbana soal polemik kebudayaan di halaman opini Kompas.
Cara saya berterima kasih kepada Kompas justru memujinya ketika benar dan mengkritiknya ketika salah. Dan saya berkesimpulan dengan ilmu yang saya pelajari, Kompas telah salah menarik kesimpulan dalam publikasi surveinya di bulan Maret 2019.
Justru karena kecintaan saya pada Kompas, kritik itu dinyatakan.
Tiga Hal Yang Jadi Inti Kritik Denny JA Pada Survei Kompas
Tiga hal yang menjadi inti kritik saya untuk Kompas saat itu (dalam esai berjudul Kesalahan Survei Kompas, Teori Ajinomoto dan Logical Falacy, ataupun esai berjudul Litbang Kompas Berpolitik?)
Pertama, survei Kompas salah dalam menarik kesimpulan. Terlalu terburu buru menyebut dukungan kepada Jokowi menurun. Dan Selisih kemenangan Jokowi dalam dua survei disimpulkan menyempit.
Saya tunjukkan perhitungannya dengan mempertimbangkan margin of error. Aha! Abakadbra! Secara murni statistik, survei Kompas sendiri membuka peluang untuk kesimpulan yang sebaliknya: dukungan Jokowi justru menaik. Selisih kemenangan Jokowi justru melebar!
Itu murni data kompas sendiri. Saya hanya membaca dengan kemungkinan yang berbeda dan dibenarkan dalam statistik.
Kedua, saya mengeritik diskusi publik atas kritik saya kepada Kompas, atau atas survei Kompas sendiri. Itu yang saya sebut logical fallacy: kesalahan berpikir karena pesona otoritas.
Seolah-olah karena Kompas yang punya otoritas sebagai koran kredibel, jika membuat survei otomatis pasti kredibel. Bahkan jika Kompas pun kredibel sebagai lembaga survei, otomatis aneka surveinya, dan cara menarik kesimpulan sudah pasti benar.
Itu sama dengan menyatakan, mereka yang ahli pasti tak pernah salah.
Dan saya pun menunjukkan kesalahan Kompas dalam menarik kesimpulan.
Ketiga, untuk bunga-bunga saya kisahkan teori Ajinomoto. Di tahun 80an, Ajinomoto begitu terkenal, dengan iklan pelawak S Bagyo. Karena ajinomoto menyedapkan bakso, seolah semua masakan akan sedap dengan sendirinya jika memakai ajinomoto.
Ini kultur logical fallacy jenis appeal to authority yang berlangsung pada masyarakat publik awam. Begitu pula yang terjadi dengan survei Kompas. Karena Kompas terjaga kredibilitasnya sebagai koran, akan pasti terjaga pula kredibilitasnya ketika membuat kesimpulan survei. Apalagi biaya sendiri pula.
Saya pun tunjukkan kemungkin salah Kompas dalam membuat kesimpulan atas datanya sendiri.
Sah kah Kesimpulan Kompas dengan Mengacu Pda Pendekatan Probabilitas?
Lantas apa bantahan Bambang Setiawan atas bantahan saya? Panjang lebar ulasannya. Semua kemungkinan margin of error dihitung.
Kompas tidak menihilkan kritik saya. Bahwa data kompas itu sendiri memungkinkan dibaca secara statistik bertentangan dengan judul berita Kompas.
Namun yang Bambang Setiawan lakukan adalah kesimpulan probabilitas. Kritik saya (Denny JA) bahwa ada kemungkinan sebenarnya jarak kemenangan Jokowi justru melebar hanya 6,25 persen. Kemungkinan jarak Kemenangan Jokowi menyempit 93,75 persen!
Dengan probabilitas itu, menurut Bambang Setiawan sah Kompas menyimpulkan Jarak kemenangan Jokowi menyempit. Mengapa sah? Karena probabilitasnya di atas 90 persen! (Kalimat ini dari saya sendiri).
Tentu kita tak menyalahkan bahwa Kompas tak peduli dengan efek politik akibat kesimpulan Kompas yang salah itu! Soal efek politik kita tak bahas. Kita bicara murni sisi keilmuan saja.
Tapi sah kah membuat kesimpulan selisih kemenangan Jokowi menyempit (tanpa catatan), padahal ada kemungkinan sebaliknya? Ilmiah kah kesimpulan itu?
Tapi apa itu ilmiah? Apa itu ilmu? Apa batas pernyataan ilmiah dan bukan ilmiah? Bagimana cara membantah sebuah kesimpulan itu salah secara ilmiah?
Menjawab pertanyaan itu, kitapun masuk ke dalam perdebatan filsafat ilmu. Dari situ kita simpulkan salah atau tidaknya kesimpulan Kompas.
Filsafat Ilmu: Saat Ditemukan Satu Saja Angsa Hitam, Maka Kesimpulan Angsa Berwarna Putih adalah Salah
Dalam filsafat ilmu, hadir raksasa bernama Karl Popper. Ia terkenal dengan pernyataan soal Falsifikasi. Batas dari dunia ilmiah itu dan bukan dunia ilmiah adalah pernyataan itu dapat disalahkan melalui proses observasi.
Kita tak pernah tahu sebenarnya apa yang benar. Tapi kita tahu apa yang salah. Seketika kita melihat ada yang salah dalam satu kasus saja, pernyataan yang umum atas kasus itu, yang berbeda, dapat disalahkan (difalsifikasi).
Yang terkenal kemudian Karl Popper menyebut angsa hitam. Semua kita bisa menyatakan angsa itu berwarna putih. Ini pernyataan ilmiah karena bisa disalahkan jika terbukti kita temukan angsa berwarna sebaliknya.
Ujar Karl Popper, tak peduli seberapa banyaknya pun angsa putih yang ada di dunia. Satu saja kita temukan angsa warna hitam, secara ilmiah kesimpulan angsa itu putih menjadi salah.
Karl Popper tidak menyebut probabilitas angsa hitam harus berapa banyak untuk membuat pernyataan “angsa itu putih” salah! Walau hanya satu angsa hitam di antara 1 milyar angsa putih (0,0000001 persen), secara ilmiah pernyataan angsa itu putih salah.
Kembali kita pada kesimpulam Kompas. Pernyataan bahwa “selisih kemenangan Jokowi menyempit” itu pernyataan ilmiah. Mengapa ilmiah? Karena pernyataan itu bisa difalsifikasi, bisa disalahkan oleh observasi.
Saya menemukan “angsa hitam” nya jika kita menganalogkan dengan permisalan Karl Popper. Ada angsa hitam (Selisih kemenangan Jokowi justru menaik) di antara kerumunan angsa putih (selisih kemenagan Jokowi menurun).
Mengikuti prinsip keilmuan Karl Popper, kesimpulan survei Kompas itu salah! Tak peduli berapapun prosentase kesimpulan itu mungkin salah, sejauh ada kemungkinan ilmiah bahwa kesimpulan itu salah, ia salah!
Kompas seharusnya tidak membuat kesimpulan yang setegas itu jika secara ilmiah ia bisa ditafsir berbeda. Setidaknya bisa diberikan catatan kaki yang memerlukan hanya satu dua kalimat.
Sesimpel itu!!
-000-
Sekali lagi saya menuliskan respon ini justru karena kecintaan saya pada Kompas. Seorang ilmuwan yang sejati akan senang seharusnya, jika ilmuwan lain bisa menunjukkan kesalahannya.
Saya sudah tunjukkan kesalahan itu. Bantahan saya atas tulisan Bambang Setiawan, tidak dengan kutak katik angka lagi. Tapi bantahan atas bantahan itu cukup dengan kisah angsa hitam.*😁
April 2019