SERUJI.CO.ID – Tidak pernah saya se-luluh lantak ini. Palu mengajari saya satu hal tentang ketegaran, komunitas puisi esai: berbagi, menggenapinya dengan ketulusan. Di Palu, kedua hal tersebut berpalunan.
Jumat malam, saya baru mendapatkan tiket komersil untuk penerbangan ke Palu. Itupun dengan terus diingatkan oleh pihak maskapai bahwa saya harus siap dengan delay atau pembatalan flight. Palu masih sulit ditembus, juga sulit disentuh. Namun Puisi Esai mengajarkan saya untuk tak mudah menyerah.
Transit makassar dan menunggu kabar selanjutnya mengenai keberangkatan ke Palu, dalam waktu itu, saya kembali ingat, bagaimana Denny JA mempertanyakan keyakinan saya untuk Palu.
“yakin kamu mau jalan? Sudah dengar informasinya? ”
Denny benar, Palu sangat memprihatinkan. Tanpa mck, tanpa makan dan minum layak, kota mati, harapan nyaris tak ada. Saya menjumpai sapi berada di tengah jalan raya yang lenggang, pemiliknya meninggalkan sapi itu begitu saja. Namun, tak ada yang peduli, tak ada yang berniat mengambil. Semuanya sudah tak yakin akan hidup mereka sendiri.
Tidak pernah saya segenap ini. Tubuh dan pikiran bergerak sinkron menuju satu tujuan: anak-anak korban gempa petobo. Daerah yang jadi perbincangan sebab kontur tanahnya yang kini ‘unik’. Jalanan naik keatas atap rumah, korban tertimbun runtuhan aspal tak bisa di evakuasi. Saya menatap petobo, mempertanyakan pada diri sendiri ” siapkah saya menghadapi anak-anak petobo?”
Secara tunai, Tuhan menjawab pertanyaan saya itu. TIDAK, saya tak siap dan tak mampu. Hamburan pertama anak petobo mampir di pelukan saya membuat gemetar seluruh badan. Saya kalah, air mata terlanjur tumpah. Anak-anak petobo mempertontonkan pada saya apa itu yang disebut kekuatan, ketegaran, dan rasa syukur.
Seorang saudara pernah bertanya pada saya ” mi, kenapa yah, komentar di facebook kamu kok berlebihan sadisnya?” waktu itu saya hanya tersenyum, bagi saya ia tak perlu tau konflik apa yang sedang saya hadapi saat menjalankan program baik namun bersama puisi esai.
Namun kini jika dia kembali bertanya saya akan menjawabnya tegas ” sebab saya menjalankan program terbaik yang pernah ada dengan support dari sebuah komunitas yang mereka tak sukai: Puisi Esai”
Kegenapan yang saya dapatkan di Palu, tidak bisa digantikan oleh apapun. Uang sama sekali tak bicara di Palu, tak berharga. Sekalipun JIKA seorang Denny JA memberi saya uang yang sangat banyak, Palu tak memerlukannya.
Dan memang, bukan uang yang Denny berikan pada saya, tapi KEPERCAYAAN. Bahwa saya mampu menyampaikan amanah yang dia titipkan, untuk anak-anak Palu. Amanah itu lunas saya tunaikan di Petobo. Saya menyampaikan cinta Denny dan Puisi esai, termasuk meninggalkan hati saya disana.
Perjalanan kali ini, saya harus mengatakan: Puisi Esai, Denny JA, dan Palu, adalah 3 hal yang menggenapi hidup saya sebagai seorang Relawan Kemanusiaan.