Pangeran Surya Mataram, Pangeran Ali Basyah Machmud Gandakusuma diasingkan ke Kupang, sedangkan Kyai Mojo dibuang ke Tondano. Banyak para pengikutnya mendirikan pesantren, memegang teguh prinsip bahwa bangsanya akan bisa ditolong dari penjajahan Belanda melalui pendidikan dan akhidah yang kuat. Yang lainnya melawan dengan cara berbeda, seperti Kyai Song yang tidak mau menyewakan tanahnya untuk program tanam paksa dan lebih memilih membuat gerabah yang kemudian menjadi sentra kerajinan Kasongan. Sang Pangeran sendiri dibuang ke Manado dan kemudian diasingkan selama 21 tahun (1834-1855) di Ford Rotterdam sampai meninggal dan kemudian dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.

@@@

Benteng Panynyua pada mulanya dibangun oleh Kerajaan Gowa pada tahun 1545 di bumi “anging mamiri”. Sultan Allaudin, Raja Gowa yang ke-15 memperbarui dan memperkuat struktur bangunan dengan bebatuan yang didatangkan dari pegunungan karst di daerah Maros. Benteng itu dilihat dari udara berbentuk menyerupai penyu yang akan merangkak turun ke lautan luas. Benteng itu merupakan perwujudan mimpi kerajaan Gowa yang ingin berkuasa di darat dan di lautan sebagaimana filosofi penyu yang mampu hidup di kedua alam itu. Berdasarkan perjanjian Bongayya pada tahun 1667 pasca peperangan yang heroik, benteng itu kemudian diserahkan kepada Belanda yang kemudian mengubah namanya menjadi Ford Rotterdam.

Benteng itu kemudian oleh Belanda dijadikan pusat pertahanan terkuat dengan dinding setebal dua meter dan tinggi tujuh meter. Di setiap sudutnya dibangun benteng pertahanan yang mengarah keluar seperti sebuah berlian. Selain sebagai pertahanan, benteng ini juga digunakan sebagai tempat untuk menampung rempah-rempah seperti pala, cengkeh, kopi dan merica hasil monopoli perdagangan dari timur Kepulauan Nusantara yang karenanya sanggup mempertahankan kekuasaan VOC selama ratusan tahun.

Di benteng Rotterdam itulah Ahmad menemukan “harta karun” sejarah yang tak ternilai harganya. Di salah satu dari seratus ruangan di dalam benteng itu disimpan epos La Galigo, sebuah naskah kuno 6000 lembar atau sepanjang 300.000 baris berisi teks sejarah lama Makassar yang merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Naskah yang beberapa bagiannya telah berbentuk microfilm itu dibuat oleh bangsawan Bugis dari Ternate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate di tahun 1860. Demikian juga artefak dan peninggalan kuno masyarakat Bugis dan Makassar lainnya termasuk peninggalan keagamaan disimpan di benteng itu. Ahmad Gassing dengan tekun meneliti Lontara Syaikh Yusuf sebagai sumber informasi yang sangat penting untuk mengungkap sejarah Nusantara masa kolonial.

Tokoh yang memiliki darah bangsawan Makassar dan sekaligus Gowa ini lahir di Istana Tallo, 3 Juli 1626. Ayah Syekh Yusuf adalah kerabat Sultan Allaudin, pembangun benteng Panynyua. Syeh Yusuf lahir pada saat konteks beberapa tonggak sejarah, pertama, jatuhnya Malaka oleh Portugis tahun 1511 yang membuat Makassar menjalin hubungan intensif dengan Aceh, Patani, Johor, Banjarmasin dan Demak. Penguasaan Malaka oleh Portugis menyebabkan tersebarnya agama Kristen dan terganggunya jalur perdagangan pribumi Nusantara. Kedua, perang besar Musu’ Selleng antara Makassar (Gowa dan Tallo) dengan aliansi TellumpoccoE (Bone, Soppeng, Wajo). Akibat perang ini, pada tahun 1611 seluruh Sulawesi Selatan kecuali Toraja secara resmi memeluk Islam, sebuah ujung dari gelombang dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh dari Minangkabau yang menyentuh wilayah Filipina.

Ketertarikan Syekh Yusuf pada ilmu agama khususnya tasawuf membuatnya berkelana untuk menuntut ilmu di berbagai pusat Islam Nusantara maupun di tanah Arab. Gelar Syekh ia dapatkan dari para pembimbingnya yang seorang mursyid tarekat, sehingga dalam kitab al-Naba Fi I’rab La ilaaha illallah, satu dari dua puluh satu kitab karya Syekh Yusuf yang dikenal dituliskan namanya al-Syaikh Yusuf bin Abdullah al-Jawi al Makassari, sementara nama lain beliau adalah Syaikh al-Haj Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyatullah al-Taj al-Khalwati al-Maqashshariy[1].

Lontara Syekh Yusuf menceritakan ia tumbuh di lingkungan yang islami, dan pada umur 3 sampai 4 tahun mempelajari Al Qur’an sampai tamat kepada Daeng Ri Tamassang. Pada usia 8 sampai 9 tahun, Yusuf kecil belajar islam kepada seorang Mufti Haramayn Makkah dan Madinah yang menetap di Bontoala, Makassar. Pada usia 16 sampai 17 tahun, Yusuf muda belajar tasawuf pada ulama besar di Cikowang, Takalar. Dengan surat pengantar kedua gurunya di Bontoala dan Cikowang ini lalu Yusuf muda belajar ke Mufti Makkah, selain juga singgah di Banten dan Aceh untuk belajar islam.

Syaikh Yusuf tiba di Banten pada saat Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud Abdul Qadir (1596 sampai dengan 1651) memegang kekuasaan. Pada masa itu Kerajaan Banten dan Aceh sedang berjuang menghadapi Belanda dan Portugis. Perjalanan akademis Syaikh Yusuf dilanjutkan ke Aceh, saat negeri itu diperintah oleh Sultan al-Alam Safiatudin Syah (1641 sampai dengan 1675). Di Aceh ini Syaikh Yusuf belajar pada ulama besar kerajaan bernama Syaikh Nuruddin al-Raniri dan mendapatkan ijazah dalam tarekat Qadiriyah. Selain itu, Syaikh Yusuf juga belajar tentang filsafat kenegaraan, dimana al-Raniri mengarang kitab terkenal berjudul Bustan al-Salatin, sebuah kitab yang mengulas tentang sistem pemerintahan Islam.

Kemudian Syaikh Yusuf melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke India, Yaman, Hijaz, Syiria, dan Istanbul. Di Hadramaut Syaikh Yusuf memperoleh ijazah tarekat Naqsabandiyah dan Ba’alwiyah. Perjalanan lalu dilanjutkan ke Makkah untuk melakukan ibadah Haji dan ke Madinah menziarahi makam Nabi. Di Madinah Syaikh Yusuf menimba ilmu dan diberikan ijazah Tarekat Syattariyah. Dahaga ilmu membuat mendorong Syaikh Yusuf meneruskan tolabul ilmi-nya ke Damaskus di Syiria dan mendapatkan ijazah Tarekat Khalwatiyah. Selain kelima aliran tarekat tersebut, Syaikh Yusuf juga mempelajari aliran lainnya seperti Dasuqiyah, Hasytiyah, Syadziliyah, Sanusiyah, Rifa’iyah, Maulawiyah, al-Idrusiyyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, Makhdumiyah, Ahmadiyah dan Madariyah. Perjalanan itu lalu dilanjutkan ke Istanbul, Turki untuk mempelajari ilmu ketatanegaraan di pusat kekhalifahan Islam.

Sesaat setelah perjanjian Bongaya antara VOC dan Makassar, Syekh Yusuf kembali ke Makassar pada tahun 1668 setelah dua puluh tiga tahun pengembaraannya. Kekalahan Makassar menyebabkan degradasi moral yang parah, sehingga budaya pra Islam seperti minum tuak, menyabung ayam dan berjudi kembali populer di tengah masyarakat. Upaya Syekh Yusuf untuk mempengaruhi Sultan Amir Hamzah agar memberantas perilaku buruk itu menemui kegagalan. Kecewa dengan sikap saudaranya tersebut, Syekh Yusuf lalu menuju Banten untuk menyebarkan Islam di wilayah yang diperintah sahabatnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Beberapa kadernya bagaimanapun telah disiapkan untuk terus berdakwah di tanah kelahirannya, Makassar.

[1] Dr. Mustari Mustafa, Agama dan Bayang-bayang etis Syaikh Yusuf al Makassari.

Bersambung …….

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama