Pandangan mata Lawe menerobos jauh keluar melalui jendela “National Geographic” kamarnya di Toadhall, merenungkan mimpi-mimpi khusus yang menghinggapinya. Sejak remaja ia sering mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Seorang teman membuatkan poster kampanye untuknya dalam mimpinya saat masih mahasiswa baru. Tiga tahun kemudian ia mengalami sendiri kejadian itu saat pemilihan ketua umum lembaga kewirausahaan mahasiswa. Di lain waktu ia bermimpi tentang pertemuan tak terduga dengan sahabat lamanya dan kemudian benar-benar terjadi lima tahun kemudian di pedalaman Kalimantan saat telah bekerja di KPK.

Déjà vu adalah mimpi slide kehidupan manusia di masa depan, kadang-kadang berupa bocoran jawaban atas pertanyaan kehidupan. Lawe mulai bisa membedakan mimpi-mimpi bunga tidur biasa dan mimpi dengan arti khusus. Masih terekam di kepalanya, jawaban doa-doanya atas keinginanya untuk berkelana di Negeri Kanguru adalah pemandangan-pemandangan asing dalam mimpinya. Salah satunya adalah sebuah pemandangan berupa rerumputan menyembul diatas air yang diiris oleh bendungan beton kolam setinggi dua meter, berlatar belakang bukit hijau kecoklatan.

Pemandangan itu ia nikmati sambil berdiri pada sebuah batu besar ditengah gemericik aliran sungai kecil. Ternyata ia temukan pemandangan indah itu tujuh tahun kemudian di sebuah sanctuary di Tidbinbilla Nature Reserve di luaran Canberra. Pada awalnya mimpi-mimpi itu seperti bukan jawaban yang memuaskan atas doa-doanya, karena yang ia ketahui tentang Australia adalah Sydney Opera House dan metropolitan Melbourne yang dibelah oleh sungai Yarra.

Lawe adalah seorang pendiam namun pemikir. Ia lebih sering menyerap kejadian-kejadian yang dialaminya daripada berkata-kata. Dalam banyak kejadian yang ia anggap tidak masuk akal ia akan membawanya ke alam mimpi sampai terbangun dengan sesungging senyuman karena mendapatkan jawaban. Saat ia tidak bisa menerima sebuah kenyataan pahit, maka dalam tidurpun perkara itu terus membayanginya dan bisa berlangsung selama berminggu-minggu, bulan, atau bahkan hitungan tahun.

Otak manusia terdiri dari bagian kiri dan kanan, dan Lawe menggunakannya secara seimbang termasuk untuk berfikir di alam bawah sadarnya. Hal itu bermula karena nasib yang memisahkannya dengan kedua orang tuanya yang membuat Lawe kecil tenggelam dalam kesedihan dan perenungan seorang diri. Mengapa nasibnya tak sebaik teman-teman sebayanya yang nampak bahagia dengan kasih sayang dari orangtuanya, sementara dirinya harus “ngenger” kepada kakek-neneknya demi meneruskan sebuah budaya. Dua kali kegagalan blitzkrieck cintanya telah menyeret Lawe lebih jauh lagi memasuki dunia ide yang penuh kejutan itu.

Mimpi sebenarnya adalah bentuk nyata idealisme, dunia kaum aktivis dan romantisist. Kenyataan bagi seorang pemimpi adalah utopis bagi seorang realis. Dahulu kala manusia bermimpi pergi ke bulan, sampai Apollo 11 menggenapinya di tahun 1969. Orang-orang hebat dalam sejarah dunia adalah mereka yang mampu merealisasikan mimpi-mimpinya. Bagi beberapa orang, hanya mimpi yang membuat mereka bertahan hidup, karena mimpi memberikan harapan-harapan. Mimpi juga bisa menjadi pelarian atas realitas yang kejam mendera, karena mimpi berada di dunia ide.

Tidak mudah untuk memasuki alam mimpi, meski bagi beberapa orang mudah saja. Pada kondisi ini beberapa orang memperoleh visi masa depan, hal-hal yang akan terjadi beberapa tahun, dekade, atau bahkan abad di depan. Berkaca pada pengalaman déjà vu-nya selama ini, bagi Lawe hidup itu sudah ada track-nya. Manusia hanyalah ”wayang” semata yang hanya mampu menjalani apa yang telah dimainkan oleh Sang Maha Dalang. Namun, mimpi yang menjumpai Lawe di Canberra kali ini sungguh aneh.

@@@

Alfatih Ronggolawe tak ingin percaya, namun diluar kehendaknya mimpi itu selalu muncul dalam tiga malam ini. Di dalam mimpi itu ia merasa berada di sebuah ruangan berarsitektur kolonial. Baru belakangan ia ketahui itu adalah bekas kantor Residen Kedu di Magelang. Nampak seorang mengenakan jubah putih dengan sorban memasuki ruangan itu. Putra sulung Hamengku Buwono III dengan selir bernama Raden Ayu Mangkorowati itu datang memenuhi ajakan silaturahmi dalam suasana Idul Fitri. Saat memasuki ruangan utama itu, keris Kyai Naga Siloeman miliknya ia serahkan kepada prajurit Hindia Belanda sebagai pemenuhan gentlement protocoler.

Seratusan pengawal sang pangeran dengan memegang tombak berdiri diluar, sementara seorang panglimanya yang bernama Mertonegoro dan beberapa pengikut inti menemaninya. Di sampingnya, seorang berperawakan Eropa dengan pakaian seorang jenderal berdiri menerima kedatangannya dengan hangat. Beberapa asistennya yang juga berperawakan Eropa nampak berdiri melingkari sebuah meja dengan empat kursi di belakangnya. Meski pertemuan itu dirancang sesantai mungkin, tak bisa ditutupi ketegangan di wajah-wajah semua yang hadir.

Jelas masih terngiang di telinga Lawe saat sang Pangeran menyampaikan kalimat penuh wibawa, “Namaningsun Kanjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi”. (Nama saya Kanjeng Sultan Ngabdulkamid, orang islam yang berpaling akan saya tata. Saya adalah raja Islam Tanah Jawa). Sang jenderal bernama De Kock, tersenyum ramah. Pagi itu sekitar pukul 8, Ahad, 28 Maret 1830, Sang Pangeran tak sadar telah masuk perangkap yang berbulan-bulan dirancang oleh Jenderal De Kock. Penyebabnya adalah pemerintah Kolonial Belanda hampir saja bangkrut karena harus menanggung hutang 25 juta Gulden untuk memadamkan lima tahun Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro.

Jihad pribumi Jawa itu begitu dahsyat karena mendapatkan dukungan luas kaum ulama maupun rakyat kebanyakan. Bahkan kaum berandalan berada di  barisan Sang Pangeran. Penyebabnya, rakyat telah lama menanggung derita. Kebijakan para Gubernur Jenderal Belanda semakin hari semakin mencengkeramkan kuku penjajahannya. Pajak hasil bumi (pajeg), pajak pintu (pacumpleng), pajak rumah tangga (kerigaji), pajak memotong ternak (tugel gurung), pajak pemakaian air (pamili toya), kerja rodi untuk raja (taker tedhak, wang bekti, gugur gunung, pegaweyan, wilah welit) dan cukai jalan raya adalah daftar panjang beban yang harus mereka pikul. Pada saat yang sama, semakin luas tanah-tanah subur dikuasai oleh orang-orang Eropa untuk dijadikan perkebunan.

Akibatnya, pengangguran menggunung. Saat Gunung Merapi meletus gagal panen melanda. Lalu kejahatan muncul dimana-mana. Penderitaan semakin sempurna karena kelaparan yang meluas, serta wabah kolera dan malaria membunuh rakyat dengan cepat. Apalagi sejak perjanjian Giyanti 1755, para penguasa keraton saling bertengkar penuh intrik demi memperebutkan kekuasaan. Rakyat merasa semakin terhina, karena dekadensi moral seperti madat, madon dan minum melanda keraton akibat pengaruh buruk para pejabat Belanda.

Bersambung…….

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama