Sampai kapan harus kulapangkan dadaku dan kudinginkan kepalaku”, batin Lawe perih. Menurut penelitian satu dari empat lelaki jatuh cinta pada pandangan pertama dan tak bisa melupakan peristiwa indah itu sepanjang hidupnya. Lawe bukannya tidak berupaya untuk mencabut “panah asmara” itu, tetapi terasa begitu dalam telah tertancap. Mencabutnya berarti merobek-robek jantungnya yang rawan dan juga menghancurkan hidupnya yang satu-satunya itu. Mencabutnya berarti harus menyampaikan perasaan cintanya itu kepada Canka, apapun jawabannya.

Sejak itu, Lawe menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa dengan separuh nafasnya, separuh jiwanya, separuh pikirannya yang terbang bersama bayangan Canka. Yang separuh lagi ia gunakan untuk menyelesaikan kuliahnya, serta melakukan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang seakan menjadi pelarian atas segala permasalahannya. Ia tak bisa menerima kenyataan pahit cintanya itu, namun juga tak kuasa untuk mematahkan anak panah asmara itu. Darah terus mengucur dari perasaan Lawe yang rapuh.  Lawe hanya bisa membebat dadanya agar darah tak terus mengucur, sambil menikmati panas dingin demam akibat panah asmara.

Yang ia lakukan adalah terus menunggu Dewi Fortuna untuk berpihak kepadanya, sambil terus berharap Dewi asmara akan memberikan penyembuh luka jiwanya, dengan memberinya kesempatan untuk mengungkapkan isi perasaannya pada “kijang emasnya” itu. Bukankah cinta itu seperti air yang meskipun dibendung terus mencari celah untuk menemukan lautan. Akibatnya sungguh tragis, Ia berubah menjadi sangat militan, bekerja dalam ruang-ruang gelap sebagai klandestin pejuang cinta. Ia memantau seluruh perkembangan yang terjadi atas Canka dan Joko dari dalam lorong-lorong bawah tanah. Ia seperti seorang “pemuja rahasia” bagi Canka, menikmati keindahan Canka dibalik topeng senyum getirnya. Sebagai gerilyawan cinta, Lawe memegang teguh doktrin, “Aku boleh kalah dalam pertempuran, namun harus menang dalam keseluruhan peperangan”.

@@@

Cankaya dihati Lawe memang berarti wanita utama di dalam istana indah kota Ankara, Turki dimana salah satu ruangannya berwarna pink. Bangunan itu hasil rancangan Clemens Holzmeister seorang arsitek Austria yang mendesainnya di Viena Academy of Fine Arts. Canka memang seperti seorang permaisuri raja, cantik, pintar serta anggun seperti selir-selir dari imperium Otoman penguasa manusia di tiga benua. Cankaya Khairunisa adalah inspirasi dan ilham tentang keindahan bagi Lawe. Lebih dari itu, Canka sepertinya menguasai resep masakan rahasia untuk raja-raja yang lezat tak terkira karena beberapa kali memenangkan lomba memasak di kampus.

Dalam tubuh Canka mengalir darah Jawa dan Aceh, bersatunya Laksamana Malahayati dan putri Solo dalam satu tubuh. Ia adalah wanita berpikiran positif yang akan bermasalah jika tidak mendapat tantangan. Ia penggemar basketball dan dance dan dekat dengan anak-anak skateboard kala itu. Bukan dunia Lawe yang pendiam dan agak konservatif sebenarnya, namun entah mengapa Lawe jatuh hati padanya dan merasa tertantang untuk memilikinya. Karena perasaan itu, bahkan Lawe ingin mengetahui dunia funky itu.

Lebih dari itu, Lawe melihat Canka seorang yang punya pendirian kuat. Sebab cantik saja tidak cukup bagi Lawe. Ia mencari wanita yang berkarakter. Demi keluarga yang akan dibangunnya serta karir masa depannya yang mana ia ingin mewakafkan dirinya pada negara dan agamanya. Kalau perlu ia bersedia mati syahid demi kebaikan negara dan agamanya itu. Ia bercita-cita memberantas korupsi yang merajalela di negerinya. Dan ia perlu wanita bukan hanya menarik hatinya, namun juga anti-korupsi. Wanita yang tidak menyebabkan suaminya korupsi, bisa mencegahnya menjadi koruptor dengan menolak uang tak halal.

Tak bisa menerima kenyataan, separuh otak Lawe terus berputar untuk merencanakan blietzkriek, sebuah serangan kilat ke jantung pertahanan hati gadis pujaannya itu, jika kesempatan memungkinkan. Namun, bukan perkara mudah untuk mereplikasi serangan fenomenal tentara Nazi Jerman pada PD II yang membuat Polandia dan Belanda menyerah dalam hitungan hari itu, soalnya Canka memiliki pertahanan hati yang sangat kokoh. Meski semangat Lawe kali ini seperti pasukan berkuda Mongol yang tak pernah kalah sebelumnya menjelang penghancuran kota Baghdad Abbasiah.

Dewi Fortuna akhirnya mampir juga. Suatu saat Lawe mendapatkan kabar dari “agen-agen rahasianya” bahwa hubungan percintaan Canka telah diputuskan oleh Joko, sebuah keputusan dramatis yang membuat Canka sedih tak terkira. Segera saja mendesir adrenalin Lawe, seperti seorang peneliti UFO yang mendapatkan sinyal lemah setelah bertahun-tahun mendongakkan radarnya ke angkasa mencari kemungkinan peradaban dari galaksi-galaksi lain. Atau seorang ilmuwan yang meneriakkan “eureka!”, karena sebuah penemuan besar dari sesuatu yang tak disengaja. Tidak bisa dibiarkan, “kijang emas-nya” itu dalam keadaan terbuang merana. Joko Raharjo tak pernah tahu bahwa ia telah banyak mengorbankan perasaan demi kebahagiaan Canka.

Kesempatan itu tentu tak disia-siakan begitu saja oleh Alfatih Ronggolawe. Melalui beberapa kali manuver sms dan telepon, Lawe mencari kesempatan untuk bertemu Canka seorang. Pejuang cinta kita kali ini berhasil mengatur pertemuan di rumah Canka, sebuah upaya pencitraan bahwa ia seorang yang gentlement. Cukup barang 20-30 menit untuk mengungkapkan perasaannya yang membuat dirinya tersiksa tiga tahun dua bulan lamanya. Panas dingin segera menyerbu hati Lawe. Bukan masalah berpengalaman atau tidak, namun perasaan cinta selalu membuat lelaki grogi. Bukankah closing yang excellent sebuah konser musik perlu latihan berulangkali sebelumnya, apalagi urusan menembak kekasih dalam sebuah drama romantik.

Aku terpanah cinta oleh senyum mawarmu sejak pertama melihatmu, Canka. Hanya engkau yang bisa menyembuhkan luka hatiku, atau mencabutnya dan mematahkan anak panah tajam yang menancap selama lebih tiga tahun itu”, dengan sedikit bergetar Lawe mengungkapan cintanya penuh perlambang yang langsung disambut ekspresi shock raut muka Canka tak percaya. Meski rasanya tak mungkin wanita tak tahu maksud lelaki yang mendatangi rumahnya untuk urusan yang tak biasa.

Namun Lawe tidak konsisten atas strategi serangan kilatnya itu. Ia masih memberikan waktu tiga hari bagi Canka untuk berfikir dan memutuskan. Sebenarnya Lawe paham, unsur pendadakan adalah inti dari strategi serangan kilat spektakuler semacam itu, namun Lawe ingin keputusan Canka datang dari hati terdalam, bukan paksaan. Sebab bisa saja Canka menerima cintanya saat itu juga, dan memutuskannya tiga minggu kemudian.

Sayang seribu sayang, tiga hari setelah sore yang romantis itu ternyata Canka menolak cinta Lawe, “Aku masih ingin sendiri dulu, mas Lawe” demikian jawaban Canka.

Bukannya trauma, namun rasanya sakit hatiku akibat putus dengan mas Joko kemarin memerlukan waktu untuk menyembuhkannya”, tambahnya dengan senyum ketabahan.

Jawaban itu seharusnya bisa memuaskan hati Lawe, meski masih menyisakan celah kecil harapan berupa kata “waktu”. Sebagai lelaki spartan dengan mental berperang sama seperti gerilyawan  Vietkong atau Taliban melawan tentara Amerika, Lawe tidak begitu saja menyerah. Masa kecil Lawe menggemblengnya layaknya seorang tentara para komando yang hanya punya dua pilihan, berhasil dalam tugas atau kembali dalam kantong mayat.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama