Peradaban China kuno membangun tembok besar untuk menahan suku barbar Mongol yang menyerang mereka selama berabad-abad. Untuk sementara gangguan dari selatan itu bisa ditahan dengan mengadu domba suku-suku nomad melalui penyuapan dan dukungan terhadap beberapa pemimpin faksi mereka. Namun pria dengan nama kecil Temujin bisa menyatukan bangsa Mongol melebihi kesetiaan suku-suku nomad itu dan menyusun pasukan berkuda gerak cepat setajam pisau yang sanggup membelah Kekaisaran Sung pada tahun 1211 persis seperti keju hangat. Pasukan kavaleri Mongol terkenal mahir mengirimkan pesan kematian melalui anak-anak panah yang mereka lepaskan, disamping sanggup hidup berbulan-bulan diatas kuda hanya dengan memakan sayatan punggung tunggangannya itu.
Sementara bangsa dari stepa Asia Tengah ini menginginkan perdagangan bebas, negeri tetangganya cenderung mengutip pajak-pajak yang memberatkan. Raja Alaudin Muhammad dari kerajaan Khwarism-Shah yang merasa sok seorang panglima militer ulung mencari masalah dengan Jengis Khan. Ia mencegat dan menghabisi nyawa 450 orang rombongan pedagang Mongol serta membunuh salah satu dari tiga utusan Jenghis Khan yang datang meminta pertanggungjawaban kemudian. Peristiwa itu memicu Jenghis Khan untuk memulai petualangan horornya menguasai dunia melalui pembantaian yang belum pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pada 1219 bencana besar itu dimulai. Pasukan berkuda Mongol membunuh 1.747.000 orang di Naishapur lalu mengambil 1.600.000 nyawa penduduk Herat.
Dalam penyerbuan berikutnya di Baghdad, Mongol membantai 800.000 orang serta menghancurkan perpustakaan terlengkap di dunia saat itu. Tentaranya membakar jutaan koleksinya untuk melawan musim dingin atau membuangnya ke sungai Eufrat hingga merubah warnanya menjadi hitam pekat. Operasi sadis yang meluas itu membentangkan kekuasaan keturunan Jenghis Khan di sepertiga wilayah dunia, mulai dari China, Asia Tengah, Eropa Timur sampai India. Nama-nama berakhiran-Khan masih kita dapati hari ini di daerah-daerah itu. Para tokoh imperium lainnya seperti Hitler sampai para presiden Amerika Serikat saat ini terobsesi mereplikasi “kejayaan” brutal itu. Saat ini pemahaman antar bangsa semakin membaik, namun anehnya peperangan masih terus berlangsung seperti di Timur Tengah. Penyebab paling logisnya adalah perebutan sumber kekayaan alam.
@@@
Pasca pendaratan Panglima Tariq bin Ziyad di semenanjung yang sekarang diberi nama Gibraltar Andalusia, Arab pernah berkuasa delapan ratus tahun lamanya. Kerajaan Muawiyah di Eropa ini menciptakan peradaban unggul yang menginspirasi negeri-negeri disekitarnya dari urusan perguruan tinggi, perpustakaan umum, pemandian umum, rumah sakit “modern”, istana, taman-taman dan bangunan-bangunan megah dimana masjid Al Hambra menjadi saksi keagungan yang tersisa. Pada masa kejayaannya, Universitas Cordoba yang berada di masjid Cordoba menyaingi Al Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Baghdad, yang berhasil menarik mahasiswa dari Eropa, Asia dan Afrika baik dari kalangan Kristen, Yahudi dan Islam. Mereka mempelajari astronomi, matematika, kedokteran, teologi, dan hukum, sebagimana yang kemudian juga diajarkan di Universitas Toledo, Granada dan Sevila.
Peradaban Cordoba seakan menerangi negeri-negeri Eropa lainnya yang jatuh dalam abad kegelapan. Di kota Cordoba yang berpenduduk 500 ribu orang pada masa itu terdapat 70 buah perpustakaan umum, sesuatu yang masih mewah di wilayah Eropa lainnya. Perpustakaan milik Al Hakam II menyimpan 400.000 buku dengan 44 katalog. Produksi kertas merupakan warisan Spanyol muslim yang kemudian menyebar ke daratan Eropa lainnya. Dan di kertas-kertas kitab tersebut, ilmuwan dan filosof muslim dan yahudi menjembatani tersalurkannya filsafat Yunani ke Eropa Barat. Dari biara-biara kristen Eropa yang menyimpan buku-buku terjemahan para filosof Yunani dari Andalusia, terciptalah Universitas Naples, Oxford, dan Cambridge.
Telah menjadi hukum besi sejarah, peradaban-peradaban menjulang tinggi sampai kehancurannya. Di jalan berkelak-kelok perbukitan di depan pegunungan Sierra Nevada, Boabdil berdoa sambil menangis memandang Granada yang ditinggalkannya. Ibu Moor terakhir (the last Moor’s Sigh) tersebut yang berjalan di sampingnya berkata, “Janganlah kamu menangis seperti layaknya perempuan, untuk sesuatu yang seharusnya kamu pertahankan sebagaimana layaknya seorang laki-laki”. Boabdil berdoa agar rakyat yang ditinggalkannya tak terusik keimanannya dan tetap sejahtera dibawah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand yang merampas kerajaannya. Namun 10 tahun kemudian terjadi inkuisisi, orang-orang muslim dan Yahudi dipaksa dan disiksa agar mau memeluk agama Khatolik atau bahkan dibantai dan diusir bagi yang menolak. Seperti membalas kekalahan di Andalusia, kaum muslim Turki dipimpin Muhammad II (Al-Fatih) menaklukkan Konstantinopel pada 27 Mei 1452 dan mengganti namanya menjadi Istanbul.
Pada perang salib 2 Oktober 1187, Salahuddin Al Ayubi memberi contoh penaklukan yang dipandu nilai agama kedamaian. Sesaat setelah mengalahkan pasukan salib di Hattin dan berhasil mengepung Al Quds (Yerusalem), pasukan Salahudin tidak melakukan pembantaian seperti yang dilakukan oleh pasukan Salib Eropa. Seabad sebelumnya tentara barbar Eropa, Kristen Latin yang dikenal sebagai orang-orang Frank, membantai muslim dan yahudi di Al Quds (Yerusalem) diperkirakan sampai 70 ribu orang jumlahnya yang menyebabkan genangan darah sampai se-mata kaki. “Kill one, you are a murderer, kill a million, you are a conquerer,” demikian yang ada di pikiran para penguasa Eropa itu.
Namun bukan itu yang ada di hati Salahuddin al Ayyubi. Setelah dua minggu pengepungan oleh 10.000 tentara islam, Yerusalem yang dipertahankan 500 kesatria dibawah Balian of Ibelin itu menyerah pada panglima perang penguasa Mesir dan Syiria. Meski bisa saja memasuki kota dengan status penakluk sesuai kebiasaan hukum perang saat itu, pemenang perang Hattin itu tidak mau melakukannya. Ia lebih suka menguasai kota tua itu dengan status penyerahan, dan tak mau melakukan pembantaian serta penjarahan meski ia bisa melakukannya dengan mudah. “Jangan menumpahkan darah, karena darah yang tertumpah di tanah itu tidak pernah mati”, demikian kata-kata Saladin.
Ia mengijinkan 60.000 penduduknya meninggalkan kota dengan tebusan, 10 dinar bagi laki-laki, 5 dinar untuk perempuan dan 1 dinar untuk anak-anak. Meski panglimanya sempat memintanya bertindak, Salahuddin membiarkan Heraklius sang penguasa gereja Yerusalem mengangkut emas, perak dan harta kekayaan lainnya sambil meninggalkan kaum tak berpunya di belakang yang kebingungan karena tak mampu membayar tebusan. Salahudin menebus dengan uangnya sendiri umat Kristen miskin itu, disamping memberikan kesempatan bagi yang ingin tetap tinggal di dalam kota tua itu, masih dengan keyakinannya. Tentu saja tawaran itu disambut dengan suka cita oleh yahudi dan kristen ortodok yang telah lama tertindas.