Oleh: Yusri Usman

Setelah Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo berbicara di depan seniornya di Mabes TNI yang menyatakan “ada institusi akan melakukan impor senjata berat dengan mencatut nama Presiden” pada Jumat 22 September 2017, telah menimbulkan sikap pro dan kontra di ruang publik. Bahkan ada yang menuding bahwa sikap Panglima TNI tersebut tidak pantas dan ada motif politiknya. Tudingan amat sadis itu datangnya dari kelompok “IQ sekolam 200”, sampai-sampai mereka meminta Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo meletakkan jabatannya .

Untuk itu mari kita bedah, apakah sikap Panglima TNI itu benar atau salah?

Adalah gagal paham kalau ada sekolompok orang meragukan informasi yang disampaikan oleh Panglima TNI adalah “A1”. Perlu dipahami bahwa dihampir semua negara yang ada kedutaan Indonesia, pasti selalu ada jabatan “atase meliter/athan” dibawah koordinasi Ka Bais (Badan Intelejen Strategis TNI). Sehingga sudah pasti setiap adanya kegiatan rencana impor senjata dari institusi apapun dalam negeri, perusahaan importir seharusnya melakukan koordinasi kepada “athan”, kecuali akan menyeludupkan senjata. Sudah bisa dipastikan “athan” akan melaporkan rencana kegiatan impor itu ke Bais, sebagai bagian organ intelijen Panglima TNI.

Disisi lain ada pertanyaan, mengapa Panglima TNI tidak melaporkan adanya institusi di luar TNI akan melakukan impor senjata yang bisa menghancurkan “tank dan pesawat” kepada Presiden?

Kalaulah kita menyimak kata-kata Panglima TNI dengan seksama didepan para senior, yang katakan “pak Wiranto sebetulnya bersikap lebih soft” dan kalimat “ada yang menjual nama Presiden”, maka dari bahasa Panglima TNI tersebut, saya memaknai bahwa kegiatan rencana impor senjata itu telah dilaporkan terlebih dahulu oleh Panglima TNI kepada Panglima Tertinggi TNI. Dan hal itu sudah mendapat konfirmasi dari Presiden Jokowi sendiri bahwa beliau sudah tahu.

Pak Wiranto juga harusnya sudah tahu bahwa hal ini pernah dilaporkan ke Presiden. Kalau belakangan ada kalimat pak Wiranto bahwa ada komunikasi yang belum tuntas, menurut saya, itu kalimat yang terpaksa dia buat untuk mengkondisikan di publik bahwa persoalan sudah selesai, agar tidak ada gaduh. Dan pernyataan pak Wiranto tersebut sifatnya lebih politis, walaupun faktanya tidak seperti itu.

3 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama