MENU

Tulisan 2: Membangun Masyarakat Bebas

Tulisan ini diambil dari E-Book karya Prof Daniel M Rosyid dengan judul "Surabaya Menggugat".

|

SERUJI.CO.ID – Mencermati lintasan kehidupan demokrasi di mana pun di dunia saat ini, apa yang sedang terjadi di Indonesia juga terjadi di pusat kampiun demokrasi AS, yaitu pengorbanan kebebasan sipil (civil liberty) demi alasan keamanan. Teror adalah cap yang sering disematkan oleh pemerintah pada aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terduga teroris. Sedangkan aksi kekerasan Pemerintah yang dilakukan atas sekelompok orang yang terduga teroris tidak disebut teror tapi disebut aksi anti-teror.

Makin jelas bahwa isu teror adalah isu yang politis yang sarat kepentingan kekuasaan. Teror artinya mengancam masyarakat sipil sedangkan anti-teror adalah melindungi masyarakat sipil. Padahal korbannya sama saja: masyarakat sipil juga, termasuk warga yang terduga teroris. Hanya dengan menduga saja, Pemerintah punya alasan untuk melakukan aksi kekerasan terhadap masyarakat sipil. Korbannya adalah warga terduga teroris.

Tentu teror oleh warga itu ada, walaupun harus dijelaskan tidak secara simplistik seperti karena alasan ideologi radikal. Aksi kekerasan bisa bermotif ekonomi, sosial dan politik. Mengatakan bahwa aksi teror selalu ideologis adalah menyesatkan. Demikian ulasan Prof. Din Syamsuddin baru-baru ini. Peristiwa penembakan dengan korban tewas belasan murid di Santa Fe, Texas, oleh Dimitrios Pagourtzis (17) baru-baru ini tidak disebut teror, walaupun peristiwanya serupa. Kejadian penembakan massal oleh warga sipil telah terjadi di AS untuk kesekian kalinya.

Mencermati peristiwa-peristiwa kekerasan selama 20 tahun terakhir, John Pilger -seorang jurnalis asal Australia-  baru-baru ini mengatakan bahwa yang paling dikorbankan dari isu global terorisme adalah umat Islam. Bagi Pilger, tidak ada perang melawan teror. Yang ada adalah aksi kekerasan dengan menggunakan alasan terorisme. Artinya terorisme digunakan untuk membenarkan aksi kekerasan oleh Pemerintah yang berkuasa atas warganya sendiri. George Bush mengumandangkan war on teror untuk membenarkan aksi kekerasannya ke Iraq dan Afghanistan dengan korban tak-terhitung.

Saya cemas UU Anti Terorisme yang baru akan menjadi justifikasi tuntas bagi aksi kekerasan oleh Pemerintah atas warga negaranya sendiri. Menkopolkam Wiranto baru-baru ini bahkan mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu tahu rincian operasi anti-teror ini karena justru akan membuka kerahasiaan aksi kekerasan oleh Pemerintah ini.

Aksi teror sering dirumuskan sebagai wujud dari pemikiran radikal. Artinya terorisme selalu disebabkan oleh sebab tunggal: ideologi radikal. Teroris sering disamakan dengan radikalis atau fundamentalis. Pikiran yang berbeda dengan pikiran pemerintah -pikiran arus utama- disebut pikiran radikal. Untuk itu, Pemerintah telah punya UU Ormas untuk merontokkan pikiran yang berbeda dengan pikiran Pemerintah. Apalagi jika pikiran yang berbeda dengan pemerintah ini berkembang terorganisir dalam ormas tertentu. Pemerintah telah memperkarakan sebuah Ormas Islam yang diduga melanggar UU Ormas karena pikiran dan kegiatannya dinilai bertentangan dengan pikiran Pancasilais Pemerintah.

Untuk memahami wacana ini ada baiknya kita merujuk pada statistika. Di dunia normal, selalu ada arus utama mayoritas dan arus pinggiran minoritas. Lihatlah kurva normal. Jika ekor kanan dan ekor kiri kurva normal ini dipotong, maka tidak ada kurva normal lagi. Dalam perspektif ini, sikap Pemerintah cenderung menentang prinsip-prinsip alam (sunnatullah) karena pikiran-pikiran sempalan adalah bagian wajar dari normalitas. Jika dia diberangus maka justru akan terjadi situasi abnormal. Seperti terorisme dijadikan alasan Pemerintah untuk melakukan kekerasan atas warganya sendiri. Radikalisme dijadikan alasan pemerintah untuk membungkam kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat warganya sendiri.

Baru-baru ini, Rex Tillerson ex Menlu AS era Trump, mengatakan bahwa di tengah krisis etika dan integritas para elite, harus dicatat bahwa unsur utama dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari warga yang bebas adalah akses pada kebenaran. Ini memerlukan pemerintah dan masyarakat yang memahami bahwa kebebasan untuk mencari kebenaran adalah intisari dari kebebasan itu sendiri. “Kalian harus tahu kebenaran dan kebenaran itu akan membuatmu bebas”. Hanya dengan habis-habisan mempertahankan kebenaran, kita bisa menciptakan sebuah masyarakat bebas, dan demokratis yang terdiri dari warga yang majemuk sehingga warga majemuk ini dapat mencoba berbagai gagasan untuk menemukan solusi atas persoalan kompleks yang dihadapi oleh masyarakat demokratis.

Pada saat seseorang dan sekelompok orang mudah sekali dituduh anti-Pancasila oleh Pemerintah, Saya cemas, UU Ormas dan UU Anti-teror adalah tantangan paling serius atas upaya membangun masyarakat demokratis yang bebas yang justru menjadi alasan mengapa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini 73 tahun silam.

Saya benar-benar cemas. Kiranya Allah Tuhan YME menolong bangsa ini.

Lanjutan ke Tulisan 3: Matinya Tukang Kritik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

Daniel Mohammad Rosyid
Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar ITS Surabaya, Pemerhati Pendidikan dan Kebijakan Publik.
spot_img
Guru Besar ITS Surabaya, Pemerhati Pendidikan dan Kebijakan Publik.

TERPOPULER

Selesai ?

Refleksi Akhir Tahun Pendidikan

Gawai di sekolah

Belajar, Bukan Bersekolah

spot_img