Gugup dan gagap, kaum “liberal” juga memelihara arogansi yang sama: “Pancasila sudah final!”. Dan dengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satu seminar ke seminar yang lain untuk didiskusikan. Mendiskusikan sesuatu yang sudah final? Ajaib! Inilah kaum “liberal paranoid” yang mendadak konyol karena berangsur jadi pemuja kuasa, dan mulai menghitung giliran berkuasa. Mereka gagal melihat hutan karena sibuk menghitung pohon.
Bagaimana demokrasi hendak dimajukan bila pikiran kaum intelektual menjadi konservatif? Bagaimana hak asasi manusia hendak diselenggarakan bila tabiat kaum liberal menjadi oportunis?
Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasi politik sejak Pemilu 2014, yang berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan saja telah membelah masyarakat politik, tetapi juga mendangkalkan kaum terpelajar: bergerombol di forum-forum media sosial, menumpuk sentimen, lalu terengah-engah memusuhi oposisi.
Hanya demi ketakutan kehilangan afiliasi dengan kekuasaan, para aktivis masyarakat sipil meninggalkan fungsi kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di Istana. Tak masuk akal, aktivis masyarakat sipil bergerombol di sekitar kekuasaan yang anti-HAM.
Mental feodal telah mengubah akademisi menjadi pelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran. Inilah era ketika elektabilitas mengepung intelektualitas, era ketika para pengajar menjadi pemuja status quo. Kekurangan pikiran—itulah sinopsis reformasi hari ini.
“The middle ground”—Isaiah Berlin (1909-97) memilih istilah itu setelah ia mempelajari sejarah pikiran Eropa yang membawa banyak penderitaan manusia pada abad lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telah menjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik, kepicikan dan pemujaan. Suatu “pathological suspicion”, dalam istilah Berlin, juga ada pada kita hari-hari ini.
Kita hidup dalam situasi saling intai, dan bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaan justru dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongan sebagai kaum fundamental, dan yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru menguatkan stigma ini melalui public relation yang insinuatif: “Tidak ada tempat bagi kaum intoleran”. Negara telah membuat definisi yang justru patologis, membangkitkan lukaluka ideologis di masa lalu. Keakraban berwarganegara dihilangkan oleh keangkuhan negara.
Kaum intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil yang berhenti mempersoalkan kekuasaan adalah para medioker yang patuh karena tak paham, dan takluk karena tak cukup berakal. Kritik tak mampu diucapkan oleh seorang medioker. Politik yang absolutis juga dapat berlangsung dalam era transisi demokrasi ketika kaum medioker berbondong-bondong menuju Istana, bukan untuk memberi kritik, tetapi untuk mematuhkan diri kepada kekuasaan.