Anies Baswedan bersama Jokowi, saat Pilpres 2014 yang lalu.

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) DKI telah menetapkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai pemeneng Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Ini artinya Anies resmi menjadi Gubernur dan Sandi Wakil Gubernur DKI terpilih.

Kemenangan Anies-Sandi atas petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat memang sempat mengejutkan. Sebab, hampir semua orang percaya Ahok-Djarot lah yang akan unggul karena didukung semua partai besar, para pengusaha besar, dan kekuasaan besar.

Kekalahan Ahok-Djarot juga disebut sebagai lampu kuning bagi pemerintahan Presiden Jokowi. Sebab, Anies-Sandi yang diusung Gerindra (Prabowo), PKS dan PAN pasti akan menggerogoti suara Jokowi dalam Pilpres 2019. Sebaliknya, jika Ahok-Djarot menang, ia bisa berharap pundi-pundi suara DKI dalam pilpres mendatang.

Masuk akal jika Jokowi sangat berkepentingan terhadap kemenangan Ahok-Djarot. Ahok adalah wagub saat dia menjadi gubernur DKI. Jika Ahok tetap menjadi gubernur, legacy (warisan) mega proyek yang telah dirintis Jokowi terjaga. Selain itu, sebagai ibukota pemerintahan, Jokowi perlu gubernur yang betul-betul “orangnya” sehingga dengan gampang mensinkronkan program nasional di ibukota.

Tapi betulkah kemenangan Anies bisa merugikan Jokowi? Akankah kemenangan Anies membuat keterpilihannya untuk menjadi presiden periode kedua akan semakin berkurang? Apakah kekalahan Ahok akan membuat program-program legacy Jokowi tidak mungkin diteruskan? Lalu apakah kemenangan Anies akan menganggu komitmen Jokowi sebagai presiden dalam menjaga RI dari kebhinekaan?

Tidak sepenuhnya demikian. Menurut saya, bisa jadi Jokowi malah senang dengan kekalahan Ahok. Mengapa? Pertama, Jokowi akan terbebas dari perannya sebagai “pemadam kebakaran” di 2,5 tahun sisa jabatannya sebagai presiden. Gaya kepemimpinan Ahok yang “hantam kromo” alias asal tabrak, selama ini, sebetulnya sangat merepotkan Istana. Banyak sikap dan gaya Ahok yang memaksa Istana harus ikut turun tangan.

Contoh paling mutakhir adalah perlakuan Ahok terhadap Rais Aam PBNU yang juga Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amien. Saat memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan kasus dugaan penistaan agama, Ahok dianggap memperlakukan tokoh NU itu kurang sopan. Kurang menghargai tokoh yang punya massa puluhan juta orang. Perlakuan yang menyinggung warga Nahdliyin itu membuat Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini dikenal sebagai operator politik Jokowi harus sowan ke kiai Ma’ruf guna meredakan ketegangan.

Kebijakan Ahok menggusur kampung-kampung kumuh juga membuat repot Jokowi. Sebab, cara hantam kromo itu bertentangan dengan gaya dan janji Jokowi saat dia maju menjadi Gubernur DKI bersama Ahok. Selama ini, Jokowi dicitrakan sebagai pemimpin yang merakyat dan selalu menggunakan pendekatan dialogis dalam menyelesaikan masalah dengan warga. Ingat keberhasilan model persuasif terhadap warga itu yang menjadi salah satu “jualan” Jokowi saat maju Gubernur DKI.

Gaya kepemimpinan Ahok yang sangat dominan –untuk tidak mengatakan ingin menang sendiri– dalam pengambilan keputusan dan over confidence itu sering membuat repot istana. Dengan gayanya tersebut, di satu pihak dipuji-puji sebagai sebuah ketegasan dan keberanian, di lain pihak dianggap menyakiti banyak pihak. Sebagian besar melihat tidak adanya ruang wisdom dalam kepemimpinan Ahok sebagai sesuatu yang merugikan.

Kristalisasi perlawanan terhadap Ahok yang berkepanjangan juga merugikan kepentingan stabilitas politik nasional. Labelisasi kelompok berdasarkan “aliran” dan agama akan semakin menguat. Kemenangan Ahok bisa memperpanjang kristalisasi kelompok politik identitas: Antara kelompok muslim-non muslim, antara mayoritas-minoritas, antara pribumi-nonpribumi, antara ke-Islaman dan Kebhinekaan, antara toleran dan intoleran, dan seterusnya. Padahal kristalisasi politik identitas seperti ini sudah mulai mencair paska menguatnya politik seperti itu di tahun 1950-an hingga 1970-an.

Bukan berarti tidak ada kelompok Islam garis keras seperti yang dicemaskan banyak pihak. Tapi, kelompok Islam seperti itu jumlahnya tidak banyak. Namun, kalau secara terus-menerus terjadi diskursus yang “terkesan” meminggirkan” Islam mayoritas, kelompok Islam garis keras akan mendapatkan momentum untuk “menghasut” Islam garis lunak yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia. Jika Ahok menang, maka “pintu untuk menghasut” Islam garis lunak itu bisa berketerusan dan susah mencari ujungnya.

Makanya, kemenangan Anies dan kekalahan Ahok di DKI ini menjadi semacam blessing in disguise bagi pemerintahan Jokowi. Ia punya kesempatan ulang mengurangi kristalisasi perlawanan kelompok Islam garis keras terhadap pemerintahannya, sekaligus membangun bangunan politik yang menentramkan dan berkeadilan.

Jokowi bisa punya ruang yang lebih besar untuk merangkul kelompok Islam garis lunak yang mayoritas ini tanpa dicurigai ada agenda tersembunyi untuk “menyingkirkan” kelompok Islam. Singkatnya, kekalahan Ahok sebetulnya bisa mengurangi beban politik Jokowi, apalagi menjelang pilpres 2019 mendatang.

Kedua, Anies sebetulnya bukan orang lain bagi Jokowi. Ia adalah salah satu tim Sukses Jokowi dalam Pilpres 2014. Anies juga sempat menjadi pembantu Presiden Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selama hampir dua tahun. Selama menjadi Mendikbud tidak ada cacat.

Anies juga seperguruan dengan Jokowi saat menempuh pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada. Keduanya sama-sama Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Keduanya hanya beda angkatan dan fakultas.

Baca juga : Jokowi, Para Taipan, dan Alim Ulama
Menata relasi ulang dengan Anies sangatlah gampang. Ada irisan-irisan yang mempertemukan mereka berdua. Sejarah relasi keduanya masih ditambah dengan latar belakang kebudayaan keduanya sebagai orang yang lahir dan besar di Solo dan Jogja. Anies bukanlah type orang pendendam, meski ia pernah dicopot dari kabinet.

Anies adalah tipe akademisi yang politisi yang rasional dan pragmatis. Ia bisa bekerjasama pada suatu ketika, tapi juga bersebarang pada saat yang lain. Jokowi juga sama. Ia dengan gampang bisa bekerjasama dengan orang, dalam waktu yang tidak lama bisa berseberangan. Anies akademisi politisi, Jokowi pengusaha politisi.

Dalam spektrum kepentingan stabilisasi politik nasional, Anies tidak memiliki DNA sebagai penganut Islam garis keras. Ia keturunan salah satu pejuang kemerdekaan. Meski berdasarkan etnisitas sama dengan Ahok (Tionghoa), Anies yang Baswedan (Arab) punya darah pejuang nasionalisme. AR Baswedan, kakeknya, adalah keturunan Arab yang ikut memperjuangkan kemerdekaan RI dan nasionalis tulen.

Anies dididik oleh pendidikan non agama. Menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ekonomi UGM, menyelesaikan program doktor di bidang ilmu politik di Nothern Illinois University (NIU) Amerika Serikat. Saat itu, ia menjadi murid kesayangan Indonesianis Prof Dr Dwight King.

Para tokoh Islam garis keras sebagian besar adalah lulusan dan jebolan pendidikan di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. DNA seorang pejuang nasionalis ditambah pendidikan sekuler membuat Anies jauh dari “bakat” menjadi pemimpin beraliran Islam garis keras.

Apalagi, dalam perjalanan Anies sebagai aktifis, ia tidak pernah bersinggungan dengan gerakan Islam. Ia bukan tokoh gerakan mahasiswa ekstra kurikuler seperti HMI. Ia juga tidak pernah menjadi aktivis mahasiswa yang bersinggungan dengan organisasi kemahasiswaan seperti KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Ia berkarir di organisasi kemahasiswaan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Karir akademisinya pun dibangun di kampus yang memperjuangkan Islam Keindonesiaan. Bahkan, ia menjadi rektor Universitas Paramadina, uniersitas yang didirikan Dr Nurcholish Majid, cendekiawan muslim yang getol membangun pemikiran tentang Islam Indonesia. Seorang cendekiawan muslim yang sebarisan dengan KH Abdurrahman Wahid dalam mengedepankan arus pemikiran pribumisasi Islam.

Kiprah publiknya saat menjadi akademisi juga tidak “berbau” agama. Anies lebih dikenal sebagai penggagas dan mengembangkan Gerakan Indonesia Mengajar.

Singkatnya, tampilnya Anies dalam kepemimpinan di DKI tidaklah semencemaskan seperti yang digambarkan para pendukung Ahok. Malah kita bisa berharap Anies mampu “melunakkan” Islam garis keras yang memilihnya. Kita bisa berharap dia bisa menggalang rekonsiliasi warga Jakarta yang sempat terkoyak karena pilkada.

Dua tahun adalah waktu yang panjang untuk sebuah perjalanan politik. Bisa saja, kemenangan Anies ini justru memberi keuntungan politik bagi Jokowi. Ia telah mendapat pelajaran dahsyat dari pertarungan politik yang sengit di Jakarta. Modal pengalaman itu bisa menjadi modal untuk perjalanan politiknya ke depan. Di sinilah kemenangan Anies adalah juga kemenangan Jokowi.

Politics is the art of possiblities. Politik adalah seni dari segala kemungkinan. Sebuah kekalahan bisa dianggap sebagai peluang untuk menang. Jokowi boleh gagal mempertahankan Ahok jadi Gubernur DKI. Tapi ia bisa memanfaatkan kemenangan Anies untuk kemenangannya pula.

Itu bisa terjadi karena keduanya punya banyak irisan yang sama. Siapa tahu kelak Jokowi-Anies bisa bergandengan tangan untuk Indonesia Terdepan!

*) Arif Afandi adalah wartawan senior yang kini sedang menekuni Socialpreneur.

5 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama