Tiga Kesamaan Antara Kasus Pertamina dan Bell Pottinger
1. Kepentingan yang Terganggu, lalu Melawan Balik
Di Afrika Selatan, manipulasi Bell Pottinger muncul untuk melindungi kepentingan bisnis keluarga Gupta yang terancam oleh penyelidikan publik.
Di Indonesia, isu hoax tentang “Pertalite dicampur etanol” muncul justru ketika pemerintah dan Pertamina sedang memperkuat transparansi serta memberantas mafia migas.
Keduanya menunjukkan pola yang sama: ketika status quo terguncang, kepentingan lama akan melawan balik, bukan dengan argumen, tapi dengan narasi yang belum terbukti.
-000-
2. Hoax Sebagai Alat Perang Ekonomi
Bell Pottinger menjual narasi seperti menjual senjata: mereka tahu opini publik dapat dijadikan alat destruktif untuk menghancurkan lawan bisnis.
Begitu pula isu pesanan terhadap Pertamina: ia tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menanamkan keraguan.
Di era digital, hoax adalah bom yang dilemparkan bukan untuk membunuh tubuh, tetapi untuk melumpuhkan kepercayaan.
-000-
3. Kebenaran Butuh Waktu, Tapi Pasti Menang
Baik di Aftika Selatan maupun di Jakarta, kebenaran tidak mati, hanya tertunda.
Bell Pottinger akhirnya tumbang karena masyarakat menolak hidup dalam kebohongan.
Dan Pertamina, melalui uji laboratorium, komunikasi terbuka, dan kerja keras, menunjukkan bahwa integritas adalah pertahanan terbaik melawan manipulasi.
Dalam dua kisah itu, yang tersisa di akhir bukan kebohongan, melainkan keyakinan bahwa kejujuran institusional adalah kekuatan moral tertinggi dalam dunia bisnis modern.
-000-
Kita sedang hidup di masa ketika algoritma bisa menciptakan “kebenaran palsu” dalam hitungan jam.
Namun sejarah memberi pelajaran: setiap rekayasa akhirnya roboh oleh kepalsuannya sendiri.
Bell Pottinger adalah simbol kejatuhan moral korporasi yang memilih manipulasi.
Maka Pertamina hari ini harus menjadi simbol kebangkitannya: perusahaan yang tetap berdiri tegak di tengah badai, menjaga kepercayaan rakyat ketika fitnah mencoba menodainya.
Pertamina bukan sekadar badan usaha; ia adalah urat nadi bangsa, penghubung antara energi dan kedaulatan.
Serangan mungkin datang, tapi selama ia berpihak pada transparansi dan integritas,
kebohongan sebesar apa pun akan runtuh seperti rumah kartu.
Karena dalam perang antara hoax dan kebenaran,
yang bertahan bukanlah mereka yang paling nyaring,
melainkan mereka yang benar.
