janji jokowi
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (kiri) dan Wakil Gubernur, Sandiaga Uno (foto: Twitter Sandiuno)

Dari Responsivitas Menuju Kolaborasi: Sebuah Kontinum

Adalah Eran Vigoda (2002, 2009) yang menyatakan bahwa etos tata kelola pemerintahan perlu bergeser dari responsivitas menuju kolaborasi sebagai sebuah kontinum. Responsivitas yang menopang customer-oriented public service dinilai semakin berkurang relevansinya seiring dengan berkembangnya nilai-nilai postmodern seperti memudarnya kepercayaan masyarakat atas institusi-institusi politik formal dan adanya gerakan universal ke arah demokrasi yang partisipatif dan inklusif (Moynihan, 2003). Belum lagi, permasalahan yang dihadapi penyelenggara negara semakin hari menjadi semakin kompleks dan berinterelasi satu sama lain, sehingga sulit baginya untuk bergerak sendiri dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Untuk menjawab tantangan tersebut, paradigma tata kelola pemerintahan perlu bertransisi dari ‘elitisme manajerial’ menuju paradigma komunitas dimana para manajer publik dilihat sebagai pembangun dan penggerak komunitas (Nalbandian, 1999). Disinilah, pembangunan tata kelola pemerintahan berbasis gerakan dengan etos gotong-royong (baca: ‘kolaborasi’) sebagaimana dikemukakan oleh Anies Baswedan menemukan relevansinya. Alih-alih sebagai customer, paradigma baru dalam pengelolaan sektor publik ini menempatkan warga sebagai mitra, sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang berperan penting dalam pewujudan tujuan pembangunan melalui peran serta dalam setiap tahapannya. Kolaborasi-lah yang menjadi etos utama.

Para ahli berpendapat bahwa peran partisipatif warga dalam pembangunan tidak hanya akan berujung pada proses pengambilan keputusan yang lebih baik, tapi juga stabilitas dan kemapanan sosial melalui terciptanya semangat kebersamaan, meningkatnya jiwa kolektivitas dalam pengambilan keputusan, dan penghormatan timbal-balik atas proses tata kelola pemerintahan (Callahan, 2007).

Lebih lanjut, pendekatan partisipatif-kolaboratif dipercaya akan dapat membangkitkan kembali gotong royong sebagai nilai luhur bangsa Indonesia yang dirasakan pada masa sekarang ini sudah semakin tergerus. Soenarto Mertowardojo (1954) pernah mengingatkan sejatinya sifat dasar hubungan antar anggota masyarakat yang saling bergantung satu sama lain, yang mensyaratkan kerjasama agar sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dapat bergerak dengan optimal. Oleh karenanya, diperlukan suatu upaya afirmatif untuk merevitalisasi gotong royong, salah satunya dengan pengaplikasian etos kolaborasi dalam tata kelola pemerintahan.

Kolaborasi sendiri sebagai suatu etos dan pola kerja menghendaki transformasi cara pandang atas hakekat peran manajer publik. Dalam paradigma collaborative governance, para manajer publik dituntut untuk menjadi fasilitator tulen yang membantu warga mengartikulasikan kebutuhannya; membantu membangun kepercayaan antara warga dengan pemerintah maupun satu sama lain; serta membantu menjaga hidupnya nilai-nilai luhur dalam masyarakat (Denhardt & Denhardt, 2000).

Pendekatan yang demikian adalah kontra tesis dari pendekatan antagonistik dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan Jakarta yang sempat dirasakan pada periode sebelumnya. Pendekatan antagonistik ini setidaknya ditemui di lapangan kebijakan relokasi proyek-proyek pembangunan di Jakarta. Mengutip data LBH Jakarta terdapat lebih dari 16.000 keluarga miskin yang terkena dampak dari kebijakan relokasi yang agresif selama kurun 2014-2016. Kebijakan inilah yang salah satunya menurut Ian Wilson (2016) telah mencederai kepercayaan warga masyarakat dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat pulih.

Lewat pendekatan yang partisipatif-kolaboratif diharapkan kepercayaan masyarakat dapat dibangun kembali dan modal sosial dapat dihimpun untuk mensukseskan pembangunan Jakarta yang lebih humanis. Apa yang telah dirintis oleh Anies-Sandi semenjak diumumkan sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta patut diapresiasi. Dibentuknya tim sinkronisasi, tim pakar, dan tim pengarah yang masing-masing digawangi para ahli dan tokoh nasional untuk mengawal agenda pembangunan Jakarta adalah langkah awal untuk menginternalisasikan collaborative governance di Jakarta, setidaknya pada tataran formulasi kebijakan.

Tentunya, langkah konkrit selanjutnya seharusnya adalah membawa etos kolaborasi pada tataran operasional/implementasi dengan jangkauan publik yang lebih luas. ‘Rumah Partisipasi’ yang juga ide Anies-Sandi dapat dijadikan sebagai jembatan untuk mencapai tujuan tersebut. Bila digarap serius dan diinstusionalisasikan dalam tata kelola pemerintahan, bukan tidak mungkin di kemudian hari Rumah Partisipasi bertransformasi menjadi ‘Rumah Kolaborasi’. Suatu platform nyata untuk mendorong kolaborasi dan gotong royong antara pemerintah dan warga di Jakarta.

(Hrn)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama