Sekadar gambaran, mengutip laporan Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), tingkat ketimpangan rakyat Indonesia berada pada posisi keenam terburuk di dunia. Sekitar 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 49 persen total kekayaan Indonesia (pada tahun 2016), dan 10 persen orang terkaya, menguasai 77 persen total kekayaan nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio mencapai 0,393 pada Maret 2017.

Disparitas yang tinggi juga tampak antardaerah. Hingga saat ini pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa. Gambaran ini, misalnya, terlihat dari sebaran daerah tertinggal. Provinsi dengan daerah tertinggal terbanyak berada di provinsi Papua sebanyak 25 kabupaten, disusul Nusa Tenggara Timur (17 kabupaten), Papua Barat (7 kabupaten), Sulawesi Tengah (9 provinsi), dan Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat (8 Kabupaten).

Persoalan tersebut jelas tak bisa ditimpakan sepenuhnya hanya pada pemerintah. Sebagai bagian dari warga negara yang beruntung, KAHMI memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama untuk turut mengatasi dan memberikan kontribusinya. Sebab, KAHMI adalah organisasi intelektual muslim–tempat berkumpulnya insan-insan cendekia yang telah beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi dan pekerjaan/profesi yang lebih baik. Sementara untuk diketahui, hingga 2017, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia masih berada sekitar 8,42 tahun. Dengan kata lain, mayoritas rakyat Indonesia masih belum menikmati jenjang pendidikan tinggi.

Sesungguhnya bangsa Indonesia bukan bangsa yang rasis, melainkan bangsa yang menghargai kemajemukan. Tetapi, pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi berpotensi menjadi bom waktu yang ketika meledak, letupannya tak urung memancarkan pula aroma “rasis”.

Kita berharap tragedi 1998 tidak lagi berulang. Oleh karena itu, sebagai organisasi intelektual yang besar, KAHMI, perlu menunjukkan eksistensinya sebagai pelopor pembangunan yang memiliki empati dan kepedulian yang tinggi pada saudara-saudara kita yang belum beruntung, yakni kaum mustad’afin (kelompok lemah). Empati dan kepedulian tersebut bukan sekadar panggilan negara, melainkan juga karena panggilan agama seperti yang dikatakan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, Khoirukumánfaúhumlinnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat manusia).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama