Menangkap keberatan perwakilan dari Indonesia Timur, Mohammad Hatta lalu mendekati tokoh-tokoh Islam agar mengganti ke tujuh kata itu menjadi Yang Maha Esa. Persatuan adalah orientasi utamanya.
Kasman, salah satu anggota PPKI dari kalangan Islam, lalu meyakinkan rekan-rekannya, termasuk Ki Bagoes Hadikoesoemo. Baginya, persatuan dan kesatuan jauh lebih penting dicapai, karena itulah inti bernegara. Lalu tercapailah kata mufakat untuk menghapus tujuh kata itu.Untuk itu, saat ini tidak lagi relevan mengusung sejarah keretakan itu. Bangsa ini harus melangkah jauh ke depan!
Ketiga, term syariah yang selama ini diwacanakan oleh beberapa kalangan, nyatanya lebih terkait sarana, bukan sasaran. Bersifat simbolistis-formalistis, bukan substansi. Padahal sesungguhnya, syariah itu substansi, bukan simbol. Syariah itu isi, bukan kulit.
Pertanyaannya: apakah tanpa term syariah otomatis negara ini tidak islami? Dan apakah yang menerapkan term syariah otomatis islami? Sama sekali tidak!
Cermin islami atau tidak islaminya negara tidak terletak pada term, melainkan pada orientasi substansi ajaran. Kita bisa berkaca pada pernyataan Muhammad Abduh, beberapa abad lalu, sepulang kunjungannya dari Perancis: “I went to the west and saw Islam, but no muslims; I got back to the east and saw just muslims, but no Islam.”
Untuk itu, sistem penyelenggaraan negara yang menghadirkan keadilan, kesejahteraan atau kebahagiaan bagi seluruh warganya tanpa pembedaan, itu jauh lebih penting ketimbang simbol-simbol lahiriahnya. Dalam beberapa penelitian, misalnya, dari 191 negara di dunia, Ranking of Happiness tahun 2015-2017, ditempati oleh Finlandia (1), Norwegia (2), Denmark (3), dan urutan selanjutnya ditempati oleh negara-negara yang justru tidak menggunakan embel-embel syariah atau Islam. Tidak ada satupun negara Islam yang masuk 10 besar.
Negara yang mampu menghadirkan kebahagiaan bagi warganya adalah yang menerapkan demokrasi modern, menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan berlandaskan konstitusi yang menjamin HAM dan prinsip demokrasi.
Kalaupun di Indonesia penyelenggaraan negara belum menghadirkan tujuan dasar yang optimal dan maksimal, kebahagiaan bagi warganya, tentu tugas kita sebagai warga bangsa bukan mengubah atau mengganti sistem kenegaraannya, melainkan mengevaluasi dan melakukan perbaikan, sehingga tujuan dasar itu bisa terpenuhi.
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU) sebagai hasil ijtihad para pendahulu jelas tidak bisa diutak-atik karena telah final, kendati tentu saja tidak terlarang ditafsirkan sesuai kondisi dan kebutuhan zamannya.
Atas dasar semua itu, tulisan singkat nan bernas karya Denny JA, yang berjudul NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi? kiranya sangat relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia kini. Yang dibutuhkan bangsa ini, bangsa yang penuh keragaman, baik saat ini maupun ke depan, adalah penyelenggaraan negara yang substansial, bukan yang mengedepankan simbol-simbol formal agama. Kepentingan menghadirkan ruang publik yang manusiawi itulah substansi bernegara yang semestinya menjadi orientasi.
Dan itulah inti syariah Islam sesungguhnya, karena Islam diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasulullah Saw untuk kepentingan seluruh umat manusia, tanpa memandang latar belakangnya.[]
*) Nurul H. Maarif, lahir di Batang pada 1980, adalah Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, dosen dan penulis. Diantara karyanya; Penafsiran Politik (Pustaka Qi Falah: 2014), Kerahmatan Islam (Quanta: 2016), Samudra Keteladanan Muhammad (Alvabet: 2017), Islam Mengasihi, Bukan Membenci (Mizan: 2017), Seruan Tuhan untuk Orang-orang Beriman (Zaman: 2018), Menjadi Mukmin Kualitas Unggul (Alifia: 2018), dan Lelaki dalam Doa (Pustaka Qi Falah: 2018).